KEPOLISIAN Daerah Kalimantan Selatan tak sepatutnya memproses kasus jurnalistik yang melibatkan wartawan situs Banjarhits, Diananta Putra Sumedi. Menahan dan menetapkannya sebagai tersangka, polisi menuding Diananta menyebarkan informasi yang menyinggung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Padahal, lewat rekomendasi Dewan Pers, kasus ini sudah selesai pada Februari lalu.
Sengketa berawal dari artikel "Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel" yang ditayangkan Diananta di Banjarhits pada 9 November tahun lalu. Tulisan itu menyebutkan Jhonlin Agro Raya milik Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam, pengusaha asal Bugis di Kalimantan Selatan, menyerobot lahan warga di Kabupaten Kotabaru. Pada ujung berita, Diananta mencantumkan wawancara Ketua Majelis Umat Kaharingan Indonesia Sukirman, yang menyatakan perampasan lahan itu bisa memicu konflik suku Dayak dan Bugis.
Sukirman membantah isi tulisan itu dan mengadukan Diananta ke Dewan Pers serta kepolisian daerah. Dewan Pers memutuskan berita merupakan karya jurnalistik meski melanggar kode etik karena menyebarkan prasangka antarsuku. Dewan juga menunjuk redaksi Kumparanportal berita nasional tempat Banjarhits bernaung dalam program kerja sama berbagi kontensebagai penanggung jawab berita dan meminta mereka menayangkan hak jawab.
Kepolisian Kalimantan Selatan memproses laporan pidana terhadap Diananta. Polisi menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta mengabaikan Nota Kesepahaman Dewan Pers-Kepala Kepolisian. Kesepahaman itu menyebutkan, jika ada laporan terhadap jurnalis, polisi harus menyerahkan perkara tersebut ke Dewan Pers. Oleh polisi, Diananta dijerat dengan pasal 28 ayat 2 tentang informasi yang menimbulkan permusuhan suku dengan ancaman enam tahun penjara dan/atau denda Rp 1 miliar. Dia ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan mulai 4 Mei lalu, sehari setelah hari kebebasan pers sedunia.
Dalih petugas bahwa Diananta ditahan agar tidak menulis topik serupa sangat berlebihan dan merupakan bentuk pembungkaman pers. Apalagi, sejak diperiksa pada November tahun lalu, ia bersikap kooperatif.
Kejadian ini mengingatkan kita pada kasus Muhammad Yusuf, wartawan yang meninggal di Lembaga Pemasyarakatan Kotabaru pada 10 Juni 2018. Dia dijerat dengan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang ITE tentang pencemaran nama setelah menulis konflik warga melawan PT Multi Agro Sarana Mandiri, yang juga milik Haji Isam.
Pasal SARA sebetulnya termasuk jarang dipakai kepolisian untuk menjerat pers. Dari lebih 14 jurnalis dan 7 media yang kena Undang-Undang ITE, mayoritas dikenai pasal pencemaran nama. Diananta adalah jurnalis ketiga yang dikenai pasal SARA dengan ancaman kurungan minimal lima tahun dan tersangka dapat langsung ditahan.
Tudingan penyidik bahwa Banjarhits bukan perusahaan media dan tulisan tersebut bukan produk jurnalistik mudah dipatahkan. Meski belum berbadan hukum, Banjarhits merupakan bagian dari situs berita Kumparan, yang telah berbadan hukum. Berita mereka ditayangkan di laman Kumparan.com/banjarhits lewat persetujuan redaksi Kumparan. Mekanisme yang sama dijalankan terhadap 36 media lokal lain yang menjadi mitra mereka di 34 provinsi. Patut disayangkan, kerja sama media pusat dan daerah itu berat sebelah: dalam kesepakatan, redaksi Kumparan menyatakan tidak bertanggung jawab terhadap konten yang dibuat mitra mereka. Dalam rekomendasinya, Dewan Pers meminta Kumparan memperbaiki kesepakatan tersebut.
Markas Besar Kepolisian harus mengevaluasi kerja petugas di Kepolisian Kalimantan Selatan. Pers nasional harus memperbaiki prosedur kerja mereka agar tidak mudah menjadi sasaran kriminalisasi.