PEMERINTAH mesti mengkaji ulang rencana membuka sawah baru guna mengatasi ancaman krisis pangan akibat pandemi Covid-19. Memaksakan diri membangun proyek besar-yang sebelumnya pernah gagal-tanpa perencanaan matang hanya akan berujung kegagalan.
Indikasi grasah-grusuh soal proyek ini sudah terlihat dari proses munculnya ke publik. Presiden Joko Widodo, dalam rapat terbatas, secara tiba-tiba memerintahkan Kementerian Badan Usaha Milik Negara membuka sawah baru guna mengantisipasi krisis pangan. Argumentasi yang dikemukakan masuk akal, yaitu prediksi Badan Pangan dan Pertanian PBB ihwal adanya potensi krisis pangan global pada April dan Mei akibat terhambatnya rantai pasok pangan di dunia.
Ide besar Jokowi disambar Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, yang langsung menyodorkan lahan gambut di Kalimantan Tengah dengan luas lebih dari 900 ribu hektare. Sampai di sini, terlihat sekali tidak ada sebuah kajian yang komprehensif tentang proyek ini.
Pemerintah seolah-olah melupakan kegagalan proyek mercusuar pembangunan sawah satu juta hektare di Kalimantan Tengah yang pernah digagas Presiden Soeharto pada 1995. Hasilnya: proyek berantakan, target swasembada beras ambyar, dan dampak kerusakan lingkungan tersisa sampai sekarang.
Mencetak sawah dalam jumlah besar merupakan proyek raksasa. Butuh perencanaan matang di segala lini, dari pembukaan lahan, pembangunan bendungan, jaringan irigasi, penyediaan pupuk, hingga penyediaan tenaga penggarap. Kalau satu hektare sawah membutuhkan 15 penggarap, 900 ribu hektare lahan memerlukan 13,5 juta penggarap. Ini jumlah orang yang sulit dipenuhi di daerah tersebut. Belum lagi soal kebutuhan air yang besar di area gambut yang sangat mudah terbakar. Ketidakpahaman tentang ekosistem gambut hanya akan menimbulkan bencana ekologis.
Memerintahkan Kementerian BUMN untuk ikut dalam proyek ini juga harus dikaji lebih jauh lagi. Kegagalan program pencetakan sawah 100 ribu hektare di Ketapang, Kalimantan Barat, pada 2012, yang berakhir di pengadilan, seharusnya menjadi pelajaran. Dari target fantastis tersebut, hanya terwujud 0,1 persen atau 100 hektare. Badan Pemeriksa Keuangan menemukan indikasi penyalahgunaan dana dalam proyek yang digarap Kementerian BUMN itu. Diduga ada proyek fiktif pencetakan sawah senilai Rp 252 miliar hasil patungan berbagai BUMN dalam Program Kemitraan dan Bina Lingkungan.
Ketimbang mencetak sawah baru di lahan gambut, lebih baik pemerintah mengoptimalkan lahan pertanian yang terbengkalai. Salah satunya dengan memanfaatkan lahan perkebunan, disatukan dengan tanaman pangan lainnya. Cara ini jauh lebih realistis untuk mengatasi ancaman krisis pangan.