Perguruan tinggi semestinya menjadi pusat usaha dalam mengatasi wabah Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19. Penelitian dan pengembangan serta pengabdian kepada masyarakat-dua dari Tridharma Perguruan Tinggi-sudah selayaknya dikerahkan guna melawan wabah mematikan ini. Sejak wabah "resmi" masuk ke Indonesia pada 2 Maret 2020, sejumlah perguruan tinggi memang telah mengembangkan berbagai inovasi. Sederet temuan aplikatif dihasilkan. Beberapa karya mereka tidak kalah inovatif dibanding karya kampus-kampus di luar negeri. Di bidang sains, penelitian bervariasi, dari uji virus, perburuan bahan penangkal alami, hingga pengejaran vaksin. Di bidang sains terapan, ada robot perawat pasien Covid-19 buatan Universitas Airlangga, Surabaya, hingga mesin bantu pernapasan jinjing murah meriah buatan Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran, dan Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Berbagai inovasi itu menunjukkan universitas bisa merespons cepat situasi darurat yang terjadi. Padahal kampus selama ini jauh dari kondisi ideal. Sebagian terkungkung dalam tradisi birokratis. Situasi inilah yang kemudian menjadi alasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makariem mencetuskan konsep "Kampus Merdeka", dengan tujuan mendekatkan bangku kuliah dengan dunia kerja. Melihat situasi saat ini, pemerintah semestinya tak melupakan pengembangan perguruan tinggi sebagai pusat riset dan ilmu pengetahuan. Menurut data Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional, pada 2019, jumlah publikasi internasional hasil riset dan inovasi Indonesia menduduki peringkat pertama di Asia Tenggara. Begitu pula dalam hal jumlah paten. Jumlah peneliti juga terus bertambah, dari sekitar 2.000 peneliti pada 2018 menjadi 20.800 orang pada tahun berikutnya. Pemerintah semestinya memberi dukungan fasilitas dan infrastruktur. Yang tak kalah penting, pemerintah juga harus menyediakan dana yang memadai agar penelitian itu tak hanya besar dalam kuantitas, melainkan juga unggul dalam kualitas. Sayangnya, anggaran riset yang diberikan tak sampai 0,25 persen dari produk domestik bruto. Bandingkan dengan anggaran riset Vietnam yang besarnya 0,44 persen dari PDB, Thailand 0,78 persen, dan Malaysia 1,3 persen. Yang juga penting adalah memberi dukungan dan insentif agar hasil riset dan inovasi itu bisa memberi manfaat bagi peneliti. Dengan begitu, peneliti diharapkan bisa hidup layak. Sudah menjadi rahasia umum, di Indonesia peneliti merupakan profesi "kering" sehingga tak banyak yang berminat menggelutinya. Pemerintah juga seharusnya menjadikan hasil riset dan inovasi sebagai rujukan dalam merumuskan kebijakan. Sejauh ini, hal itu jauh panggang dari api. Hal ini seperti yang ditunjukkan oleh hasil kajian Doing Research Assessment oleh Centre for Innovation Policy and Governance pada 2019. Kajian terhadap responden dari kalangan peneliti, pengelola riset, serta pembuat kebijakan di pusat dan daerah itu menunjukkan pembuatan kebijakan di Indonesia tak didukung oleh riset kuat. Pandemi global corona sudah selayaknya menjadi momentum buat memperkuat tradisi ilmiah di perguruan tinggi kita. Kampus bukan sekadar tempat untuk menyiapkan mahasiswa ke dunia kerja. Benar, jumlah alumnus yang kelak akan memasuki dunia penelitian relatif kecil dibanding mereka yang memilih profesi lain. Namun mereka pun perlu mendapat sokongan agar kelak kita tidak lagi tergagap-gagap ketika menghadapi wabah besar seperti corona.
Inovasi di Kampus Kita
Tempo.co
Editorial
Senin, 4 Mei 2020 07:10 WIB