Masyarakat harus proaktif mengawasi penyaluran bantuan sosial atau bansos bagi mereka yang terkena dampak wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Di sejumlah daerah yang menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), distribusi bansos masih kerap salah sasaran akibat karut-marut data penerima, baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah.
Sejak Maret lalu, pemerintah pusat memang sudah mengalokasikan dana Rp 405 triliun untuk mengatasi dampak Covid-19. Sebanyak Rp 110 triliun di antaranya untuk jaring pengaman sosial, agar mereka yang berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah tidak makin terperosok ke jurang kemiskinan.
Alokasi dana sebesar itu belum termasuk dana bansos dari anggaran daerah. Pemerintah DKI Jakarta, misalnya, juga mengalokasikan Rp 7,6 triliun hanya untuk jaring pengaman sosial di wilayahnya. Dengan dana jumbo dan jumlah penerima bantuan yang mencapai 1,2 juta keluarga, potensi penyelewengan amat mungkin terjadi. Apalagi jika data penerima bansos terindikasi tidak valid dan tak ada pengawasan yang ketat dari lembaga penegak hukum.
Upaya memastikan dana bansos sampai ke yang berhak sungguh mendesak. Pasalnya, 20 April lalu, sudah ada korban akibat bansos yang terlambat. Yuli Nur Amelia meninggal di Serang, Banten, setelah dua hari menahan lapar. Dia bertahan dengan meminum air galon isi ulang. Keempat anak Yuli, salah satunya masih bayi, juga ditemukan kelaparan.
Suami Yuli, Mohamad Holik, yang hanya menjadi pemulung, tidak lagi memperoleh penghasilan karena kegiatan jual-beli barang rongsokan terhenti. Sejak pemberlakuan PSBB di daerahnya, Holik tidak bisa lagi memulung.
Untuk mencegah insiden tragis seperti Yuli, pemerintah daerah harus proaktif memperbarui data warganya yang terkena dampak Covid-19. Tak ada gunanya berdalih macam-macam, apalagi mencoba menghindar dari tanggung jawab, karena hal itu justru akan mengundang antipati dan kecaman publik.
Tak hanya itu. Selain perbaikan data pemerintah, pengawasan dari masyarakat perlu diperluas. Partisipasi aktif dari publik sangat penting agar bantuan, baik bahan pokok maupun uang tunai, benar-benar diterima mereka yang berhak. Penggunaan teknologi digital jadi krusial agar masukan warga bisa diproses dan ditindaklanjuti dengan cepat. Harus ada perangkat digital yang memungkinkan warga melapor jika mereka melihat bansos salah sasaran di lingkungan permukiman mereka.
Penggunaan bansos untuk kepentingan politik juga harus diwaspadai. Sejumlah kepala daerah memang sudah berancang-ancang maju lagi dalam pilkada, Desember mendatang. Jangan sampai pembagian bansos diselewengkan hanya untuk daerah yang mendukung petahana.
Dengan pagebluk yang diprediksi belum akan berakhir dalam waktu dekat, kelangsungan hidup mereka yang tak mampu sangat bergantung pada uluran tangan solidaritas, baik dari pemerintah maupun warga lain yang peduli. Hanya dengan bekerja bersama-sama, bersikap transparan soal data, dan membuka kesempatan untuk kolaborasi antara pemerintah dan warga, kemungkinan bansos salah sasaran bisa ditekan seminimal mungkin.