Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Pakar

image-profil

Oleh

image-gnews
Warga mengantre mendapatkan makan siang yang dibagikan gratis salah satu perusahaan di kawasan Sudirman, Jakarta, Senin, 20 April 2020. Penerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) bertujuan membatasi aktivitas sosial, melindungi kelompok yang rentan dan mengurangi angka kesakitan dan keselamatan jiwa, sebagai upaya lebih tegas untuk memutus mata rantai penyebaran virus korona (Covid-19). TEMPO/Muhammad Hidayat
Warga mengantre mendapatkan makan siang yang dibagikan gratis salah satu perusahaan di kawasan Sudirman, Jakarta, Senin, 20 April 2020. Penerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) bertujuan membatasi aktivitas sosial, melindungi kelompok yang rentan dan mengurangi angka kesakitan dan keselamatan jiwa, sebagai upaya lebih tegas untuk memutus mata rantai penyebaran virus korona (Covid-19). TEMPO/Muhammad Hidayat
Iklan

Epidemi 2020: yang cepat berjangkit bukan hanya virus, tapi juga pertanyaan. Dengan kata lain, ketidakpastian.

Kita tak tahu berapa banyak orang akan mati dan sejauh mana sebuah negeri seperti Indonesia mentolerir jumlah kematian: 100 ribu? Atau 2,5 juta? Kita belum tahu seberapa parah krisis ekonomi akibat epidemi ini. Akankah korbannya lebih besar dan luas ketimbang korban virus?

Wabah sans-frontiere ini mungkin tak semengerikan epidemi di abad-abad yang lalu dari segi jumlah kematian, tapi Covid-19yang belum lama dikenalimenjalar jauh lebih cepat bersama makin cepatnya lalu lintas manusia. Semua kepergok. Pekan lalu diumumkan, dalam peringkat Global Health Security Index, dari sebanyak 195 negeri, tak satu pun siap penuh menghadapi coronavirus ini.

Sampai kapan?

Orang mengais-ngais jawab.

Baca Juga:

Pemenang Hadiah Nobel 2013 untuk ilmu kimia, Michael Levitt, menghitung, epidemi ini akan berakhir lebih cepat ketimbang yang umumnya diperkirakan. Tapi dua pekan lalu William Hanage, pakar epidemiologi Universitas Harvard, menulis dalam surat kabar Inggris The Guardian dengan kalimat penutup yang suram: “Di daerah saya tinggal, di Cambridge, Massachusetts, sirene terus-menerus terdengar. Krisis ini tak mendekati akhir, malah sebaliknya. Pandemi ini baru saja mulai.”

Dengan prediksi yang bertolak belakang seperti itu, perdebatan berlangsung intens, dan kebingungan melelahkan. Pada akhirnya, dari pendapat para pakar atau mereka yang diasumsikan sebagai pakar, orang hanya akan memilihnya seperti memilih sandal jepit di toko: memungut yang berwarna jingga (jika ia ingin optimistis) atau ungu (jika ia ingin pesimistis).

Meskipun para pakar dianggap, atau diharap, tak bicara dalam jingga atau ungu.

Pakar (kata ini kita pungut dari bahasa Melayu Malaysia, terjemahan dari expert) lahir bersama perkembangan pengetahuan ketika ilmu-ilmu makin menukik menelaah, makin dalam menganalisis fenomena. Umumnya pakar kita anggap punya kesimpulan dari proses yang netral, metode penelitian yang baku, kerja dan paparan yang sistematis, dengan data, angka. Umumnya mereka bagian dari tradisi klasik ilmu-ilmu: ilmu harus “obyektif”, atau ia bukan ilmu. Seorang ilmuwan harus melakukan apa yang sering disebut, dalam bahasa Inggris, scientific detachment: dalam menelaah, aku sepenuhnya berpikir; aku harus melepaskan perasaan hatiku, prasangkaku, kepentinganku. Aku seakan-akan menelaah dunia mengatasi sudut pandangku. Aku berada dalam isolasi imajiner.

Para sejarawan mengatakan, tauladan sikap ituyang mendasari pencarian pengetahuan (scientia)dimulai saat Descartes menuliskan pemikirannya, antara lain, Meditations, di abad ke-17.

Sering dilupakan, ia sebenarnya bukan hanya filosof. Descartes juga pendahulu revolusi sains. Matematika terapan yang dipakai kini didasarkan atas penemuannya. Penjelasannya tentang pelangi membuka arah baru ilmu optik. Dan ia salah satu ilmuwan yang menunjukkan bahwa kerja tubuh manusia dapat ditelaah bagaikan mesin.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari sana sebenarnya tampak benih-benih filsafatnya yang kemudian berpengaruh luas: filsafat yang berniat menemukan dasar yang pasti bagi pengetahuan.

Terkenal bahwa Descartes memulainya dengan meragukan segala hal secara radikal: bukan hanya dogma dan dongeng yang ia pertanyakan, tapi juga eksistensinya sendiri di dunia. Yang akhirnya tak bisa diragukan adalah posisinya sebagai subyek yang sedang dalam keadaan meragukan. Pangkal ragu itu proses berpikir. Kalimat pendek Descartes yang termasyhur: “Cogito, ergo sum.” Aku ini sadar aku sedang berpikir, berarti pikiran ada: itulah dasar kepastian.

Dengan cogito sebagai dasar kepastian, Descartes pada akhirnya memandang subyek manusia, subyek yang berpikir, sebagai pusat di tengah (dan berhadapan dengan) dunia. Adapun yang dimaksud “dunia” adalah ruang, waktu, benda, alam, bahkan tubuhnya sendiri (yang bisa ditelaah bagaikan mesin). Aku adalah sang subyek, dan lainnya obyek. Dalam konstelasi itu ada dua “bangunan”: aku yang berpikir dan dunia yang aku pikirkan.

Maka sering ditafsirkan Descartes meletakkan dunia sebagai sesuatu yang terpisah; subyek manusia berada di atas segala hal di luar dirinya dan tak terpengaruh oleh mereka. Kita pun ingat para ilmuwan: dalam meneliti, mereka membebaskan diri dari pengaruh apa pun di luar proses pemikirannyasebagaimana Descartes, dalam merenungkan thesis-thesisnya, tinggal menyendiri dalam sebuah ruang tertutup di musim dingin.

Tapi keterpisahan itu sebenarnya tak demikian ekstrem dan membentuk ilusi jika diikuti dengan ekstrem pula. Ada kata-kata Descartes yang sering diabaikan: “Aku tak hanya hadir dalam tubuhku seperti seorang pelaut hadir dalam sebuah kapal; aku secara akrab bertaut, katakanlah begitu, sedemikian rupa hingga aku dan tubuhku membentuk satu kesatuan.”

Dalam perkembangannya, para ilmuwan memang melupakan kesatuan itu, ketika mereka makin jauh dari renungan menelaah bagaimana pengetahuan mereka terbentuk. Dorongan untuk “obyektif” dengan hasil yang cepat memang menyebabkan demikian; kita membayangkan seorang pakar tinggal selama-lamanya dalam tabung gelas.

Tapi mustahil. Sejauh-jauhnya seorang manusia masuk ke isolasi, ia selalu berada dalam suatu “keadaan”, Befindlichkeit, kata Heidegger. Seorang pakar memang berniat obyektif, ia bermaksud netral tak jingga tak ungu, tapi tak pernah bisa absolut. Tak absolut tak berarti keliru. Hanya ia punya perspektif yang terbatas.

Kita memang membutuhkan pendapatnyatapi juga membutuhkan kesadaran tentang terbatasnya pendapat itu. Memang para pakar itu, yang merasa lebih tahu, bisa angkuh. Tapi kini siapa pun harus berdamai dengan kenyataan bahwa selalu ada yang kita belum tahu dan tak bisa tahu. Covid-19 sedang mengajari kita untuk rendah hati, juga dalam ketakutan.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

9 jam lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


23 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

29 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.