Pemerintah, sekali lagi, harus merapikan caranya bekerja menangani wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Setiap keputusan pemerintah harus berbasis data yang akurat, bukan berdasarkan insting atau pertimbangan politis semata. Tanpa basis data yang akurat, Indonesia akan semakin kalah langkah oleh penularan Covid-19 serta kian sulit terlepas dari cengkeraman pandemi.
Sungguh disayangkan, tiga pekan setelah pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, pengumpulan data korban virus mematikan itu tidak kunjung beres. Dalam sebuah diskusi, Agus Wibowo, Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana, mengungkapkan bahwa data korban Covid-19 versi Kementerian Kesehatan tidak sinkron dengan laporan dari daerah.
Kementerian Kesehatan tak perlu berkukuh bahwa datanya paling benar lantaran merupakan hasil uji kasus menggunakan mesin-mesin PCR (polymerase chain reaction). Sebab, kita tahu, kapasitas mesin PCR milik Kementerian Kesehatan sangat terbatas bila dibandingkan dengan jumlah riil orang yang terjangkiti Covid-19.
Absennya data yang akurat tentang jumlah korban tak terlepas dari kebijakan "satu pintu" Kementerian Kesehatan dalam pengetesan dan pendataan pasien Covid-19. Kementerian seharusnya terbuka mengakui bahwa cakupan data mereka terbatas karena alat tesnya juga tidak memadai.
Kementerian Kesehatan tak boleh tutup mata atas data hasil uji cepat atau rapid test kit yang dilakukan sejumlah pemerintah daerah. Metode tes cepat yang menguji antibodidengan memeriksa sampel darah pasienitu memang memberi hasil dengan tingkat akurasi di bawah hasil tes PCR. Namun pengujian secara massal di Indonesia saat ini baru bisa dilakukan dengan rapid test kit.
Berdasarkan pengalaman di banyak negara, pengujian massal adalah kunci untuk menghambat penularan Covid-19. Masalahnya, Indonesia termasuk di antara jajaran negara terburuk di dunia dalam hal jumlah orang yang menjalani tes Covid-19. Koran terbitan Singapura, The Straits Times, menyebut rasio penduduk yang sudah dites di Indonesia hanya 36 orang per sejuta penduduk. Angka itu sedikit di atas Etiopia (16 orang per sejuta penduduk), Bangladesh (18), dan Nigeria (19). Bandingkan dengan Korea Selatan yang melakukan tes terhadap 8.996 orang per satu juta penduduk, Singapura (6.666), dan Malaysia (1.605).
Tanpa pembenahan basis data, keputusan yang diambil pemerintah hanyalah keputusan instingtif. Pemerintah akan menjadi seperti segerombolan orang yang harus memutuskan strategi apa yang paling baik untuk menyelamatkan kampungnya dari serangan harimau ganas, tapi tak tahu berapa banyak warganya yang telah menjadi korban. Sementara sang harimau, dari tempat yang tak terlihat, bersiap-siap menerkam korban berikutnya.
Selain membenahi pendataan, pemerintah harus jujur dalam mengumumkan kasus Covid-19. Menutup-nutupi data korban virus corona hanya mendatangkan rasa aman palsu di kalangan masyarakat.
Tanpa data kasus Covid-19 yang akurat, pelaku ekonomi pun tak akan bisa memprediksi sampai kapan situasi tak menentu ini akan berlangsung. Mereka akan kesulitan membuat proyeksi bisnis. Akibatnya, krisis ekonomi akibat wabah Covid-19 bisa berkepanjangan, sesuatu yang hendak dihindari pemerintah ketika menutupi kasus corona pada awalnya.