Seharusnya Alia tak mati. Seharusnya gadis kecil yang menari hula hoop di halaman rumah di daerah miskin di Nairobi itu tak terkena pecahan peluru dari pesawat yang tak pernah dilihatnya-pesawat yang sebenarnya melihatnya. Tapi yang tragis terjadi dan itulah bagian terpenting dalam film Eye in the Sky.
Eye in the Sky adalah fiksi yang mengisahkan dengan realistis getirnya buah simalakama perang modern.
Syahdan, tiga tokoh teroris Al-Shabaab sedang bertemu di kampung Nairobi itu. Mereka sudah lama diintai. Sebuah tim multinasional bekerja: dipimpin seorang kolonel Inggris, dilengkapi drone USAF MQ-9 Reaper yang dikendalikan dari Nevada, dibantu kamera pengenal wajah yang beroperasi di Hawaii, dan seorang Afrika di pasar lokal yang menggerakkan kamera mini yang bisa terbang menyusup seperti lebah. Tugas: menyergap.
Tapi orang-orang Al-Shabaab itu ternyata tak hanya bertemu. Mereka sedang mempersenjatai pengebom bunuh diri yang akan segera berangkat. Rencana pun berubah: mereka harus dibunuh segera. Misil Hellfire disiapkan.
Tapi apa lacur: hanya beberapa meter dari sasaran, Alia asyik bermain. Perintah tembak pun ditunda. “Saya komandan. Saya baru akan menembak jika anak kecil itu sudah tak di sana,” kata kapten pilot Watts.
Dengan kamera drone yang melayang setinggi 20 ribu kaki, Watts telah lama mengikuti gerak-gerik Alia. Ia jatuh hati. Pemimpin tim, Kolonel Katherine Potter, segera minta keputusan atasannya di London. Para pejabat tinggi berunding. Tak juga ada kesimpulan. Akhirnya Potter tak dapat menunda lebih lama. Sesudah diusahakan agar sangat kecil kemungkinan Alia terkena, picu pun ditarik....
Dilema dalam Eye in the Sky tak mencekam satu orang. Tim Potter dihadapkan pada pilihan: menyelamatkan si bocah, tapi dengan demikian pengebom bunuh diri akan lepas dan 80 orang bisa tewas; atau langsung menembakkan misil dan para teroris habis, tapi Alia ikut jadi korban. Melihat anak itu menari dan berjualan roti, kata collateral damage terlalu abstrak.
Tapi operasi berhasil. Orang-orang Al-Shabaab hancur. Dengan catatan: betapapun piawai teknologi, betapapun berhati-hatinya para petugas agar yang tak bersalah tak jadi korban, Alia tetap terkena.
“Dalam perang, korban yang pertama jatuh adalah kebenaran,” kalimat penyair Yunani Kuno itu membuka film Gavin Hood ini. Tapi Eye in the Sky menunjukkan, ada korban lain yang jatuh dan pantas roboh: ketakaburan.
Posisi di atas yang serba-melihat, ibarat drone, adalah kekuasaan besar dengan rumus yang sederhana: “atas = melihat = mahatahu”. Mungkin itu sebabnya manusia menduga Tuhan di Langit dan dewa-dewa di Mahameru. Mungkin itu sebabnya kita menyebut kekuasaan sebagai struktur dengan sebuah “pucuk”. Yang berkuasa-raja atau presiden-berada di pucuk itu. Kita bayangkan sebuah piramida. Dan tak hanya itu. Kita bayangkan piramida dengan mata yang mengincar.
Piramida-dengan-mata itu adalah perumpamaan negara modern. Para penguasa tradisional tak menganggap diri dekat dengan langit. Mereka mungkin megalomaniak, tapi merasa lebih dekat ke bumi. Di Jawa mereka menyebut diri “Mangkubumi”, “Paku Alam”, “Hamengku Buwono”. Bahkan pendiri imperium Mataram disebut dengan gelar Ngabehi Loring Pasar, “yang dipertuan di utara pasar”-sesuatu yang sangat lokal. Tak ada kesan kosmis. Saya tak menemukan penghormatan yang berhubungan dengan kemampuan visual.
“Negara pramodern... separuh buta,” tulis James C. Scott dalam Seeing Like a State. Scott menguraikan dengan menarik proses lahirnya negara modern: sebuah bangunan politik dengan peran dan kemampuan yang tak ada sebelumnya.
Kata yang dipakai adalah seeing, “melihat”. Negara pramodern yang “separuh buta” berkuasa bukan dengan “melihat”, melainkan dengan aura; negara modern sebaliknya: tanpa aura, ia datang, ia melihat, ia menguasai. Dengan teknologi.
Mula-mula teknologi itu berupa birokrasi, administrasi keamanan, sensus penduduk, pencatatan warga dengan KTP. Juga pembuatan peta, pembakuan ukuran ruang dan waktu, pembagian geografi. Dalam perkembangannya kemudian, seperti yang kini berlangsung di Tiongkok, teknologi itu jauh lebih menembus, mencakup, mencengkeram. Dengan memasang kamera surveillance di mana-mana, Negara menjulang seperti drone perkasa: “Kami melihat, kau kutangkap.”
RRT adalah contoh terjelas “kekuasaan disipliner” yang digambarkan Foucault. Mirip “panoptikon”: jenis baru penjara yang didesain Jeremy Bentham di abad ke-18. Dengan menara tinggi, rapi, dan tanpa penyiksaan fisik, “panoptikon” mampu mengamati, mengetahui, dan mengontrol semua.
Di satu bagian Surveiller et punir (versi Inggris lebih terkenal, Discipline and Punish), Foucault mengutip satu ordonansi dari Eropa abad ke-17 yang mengatur tindakan yang harus dilakukan ketika sebuah kota diserang wabah; kini orang akan menyebutnya “lockdown”.
Kota digembok. “Di ruang yang ditutup dan dibagi-bagi ini, yang diawasi di tiap titik, di mana individu diselipkan di sebuah tempat yang tetap, di mana gerak yang paling kecil pun diamati, di mana semua kejadian direkam, di mana dokumen tak putus-putusnya menghubungkan pusat dengan pinggiran, di mana kekuasaan dijalankan tak terpisah-pisah, mengikuti sebuah bentuk hierarki yang sambung-menyambung....”
“Panoptikon” membangun perasaan, juga di luar penjara, bahwa kita secara permanen ditatap-tanpa bisa melihat apa dan siapa yang menatap. Kita pun jadi jinak. “Kota yang terpukul wabah,” kata Foucault, melahirkan “utopia tentang sebuah negeri yang diatur dengan sempurna”.
Tapi “utopia” tak pernah bisa ada, hanya diidamkan. Dalam Seeing like a State, Scott menunjukkan contoh sejarah bagaimana kesalahan justru sering terjadi, dalam skala besar, ketika-dengan ketakaburan yang tak disengaja-Negara melihat dari atas dan merancang hidup di bumi yang tak bisa sepenuhnya dikuasai.
“Mata yang di langit” itu tak buta, memang. Tapi ia tak selalu bisa meramal yang di atas tanah: tiba-tiba saja wabah merebak dan ribuan Alia mati.
GOENAWAN MOHAMAD