Agus Riewanto
Dosen Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Di tengah pandemi Covid-19, masyarakat dikejutkan oleh surat Presiden Joko Widodo yang menetapkan pemberhentian komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Novida Ginting Manik, secara tidak hormat. Ini merupakan tindak lanjut dari putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) Nomor DKPP 317-PKE-DKPP/2019. (Koran Tempo, 26 Maret 2020).
Pemberhentian komisioner KPU ini merupakan tamparan berat bagi jajaran penyelenggara pemilihan umum. Sebab, untuk pertama kalinya dalam sejarah, DKPP memberhentikan komisioner KPU karena pelanggaran kode etik. Tentu saja putusan DKPP itu akan dicatat sebagai keputusan spektakuler dan bersejarah karena telah melakukan tindakan yang sangat tegas guna menegakkan kode etik penyelenggaraan pemilihan umum.
Pemberhentian komisioner ini tentu akan mempengaruhi kredibilitas dan legitimasi KPU di mata publik. Hal 222tersebut akan menurunkan wibawa dan martabat KPU secara kelembagaan sekaligus melahirkan stigma politik yang sulit dibantah bahwa dalam kinerja KPU selama pemilihan umum 2019, terdapat cacat moral yang tak terampuni.
DKPP memberikan sanksi teguran keras kepada Ketua KPU dan empat anggota KPU serta memberhentikan Novida. Putusan ini sebenarnya tak mulus. Sebab, tak lama berselang, Novita berencana melawan melalui gugatan ke pengadilan tata usaha negara (PTUN) karena putusan DKPP diduga cacat hukum dan melanggar hukum acara persidangan.
Pengadu kasus ini dikabarkan telah mencabut aduannya dan putusan hanya dilakukan oleh empat anggota majelis DKPP. Namun pelaksana tugas Ketua DKPP, Muhammad, membantahnya. Dia menyatakan semua prosedur hukum acara persidangan telah terpenuhi serta putusan DKPP bersifat final dan mengikat.
Sesungguhnya putusan DKPP tersebut akan bermuara pada perdebatan aspek keadilan normatif dan substantif. Dalam penegakan hukum, kedua aspek ini tidak boleh saling menegasikan karena tujuan penerapan norma dalam hukum adalah mencapai keadilan substantif. Sebaliknya, keadilan substantif tak akan dapat diraih jika tak melalui tahapan normatif.
Putusan DKPP berada di ranah mewujudkan keadilan substantif karena ditujukan untuk mengoreksi tindakan KPU yang mengabaikan penerapan norma Undang-Undang Pemilihan Umum, yang menganut sistem proporsional dengan penetapan calon legislator berdasarkan suara terbanyak. Ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 154-02-20/PH-PU.DPR-DPRD/XVII/2019.
Dalam kasus ini, seharusnya yang berhak ditetapkan oleh KPU menjadi legislator terpilih daerah pemilihan 6 Kalimantan Barat adalah Hendri Macaluasc sebagai peraih suara terbanyak. Tapi KPU justru menetapkan Cok Hendri Rampon, peraih suara terbanyak kedua di dapil tersebut. KPU beralasan, putusan MK tersebut tidak mengoreksi suara Cok Hendri Rampon. KPU mengklaim hanya melaksanakan putusan MK yang bersifat final dan mengikat, meskipun Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dalam amar putusan Nomor 83/LP/PL/ADM/RI/00.00/VIII/2019, telah mengoreksi kekeliruan KPU ini.
Dalam mewujudkan keadilan substantif, putusan DKPP telah melampaui aspek normatif karena berani mengabaikan beberapa aspek prosedural hukum acara persidangan ketika subyek hukum atau pengadu (Hendri Macaluasc) mencabut aduannya. Namun DKPP tetap melanjutkan persidangan tujuan substantifnya untuk mengoreksi tindakan berbahaya KPU karena telah mengingkari sistem pemilihan umum dan memicu ketidakpastian hukum.
MK memutuskan Hendri Macalusc sebagai peraih suara terbanyak, tapi anehnya tidak mengoreksi perolehan suara Cok Hendri Rampon. Di titik inilah terjadi problem penafsiran hukum atas putusan MK. KPU merasa lebih aman melaksanakan putusan MK “apa adanya” tanpa berusaha meminta penjelasan kepada MK ihwal makna di balik putusan soal Hendri Macalusc, tapi tak mengoreksi perolehan suara Cok Hendri Rampon. Jika putusan MK meragukan, KPU seharusnya meminta penjelasan kepada MK melalui konsultasi, tapi pada kenyataannya tidak dilakukan. KPU menafsirkan sendiri putusan MK tersebut, yang mengakibatkan kerugian konstitusionalitas calon legislator tertentu dan berujung pada aduan kepada DKPP.
Tafsiran KPU menjadi pintu masuk bagi DKPP untuk menafsirkan sendiri pula putusan MK, yang berakhir dengan keputusan bahwa KPU melanggar kode etik.
Putusan DKPP dan surat presiden tentang pemberhentian komisioner KPU ini harus menjadi evaluasi internal KPU dalam melaksanakan agenda besar pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum mendatang. Ini terutama berkaitan dengan koordinasi antar-anggota KPU dengan jajaran sekretariat KPU dan KPU daerah seluruh Indonesia agar pemilu berlangsung lebih baik lagi.
Bagi DPR dan pemerintah, pemberhentian komisioner KPU ini dapat menjadi bahan untuk menyusun kebijakan dalam revisi Undang-Undang Pemilihan Umum. Tujuannya, dalam rekrutmen nanti, KPU lebih memperhatikan aspek integritas dan profesionalitas dalam bekerja, sehingga pemberhentian komisioner KPU, yang berujung pada menurunnya kredibilitas kinerja KPU, tak terulang.