Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Wei Qi

image-profil

Oleh

image-gnews
Warga negara Malaysia yang dievakuasi dari Wuhan, Tiongkok diarahkan ke sebuah bus oleh pejabat kesehatan dengan pakaian pelindung setelah tiba di Bandara Internasional Kuala Lumpur di Sepang, Malaysia, 4 Februari 2020. Malaysia Ministry of Health/Muzzafar Kasim/Handout via REUTERS
Warga negara Malaysia yang dievakuasi dari Wuhan, Tiongkok diarahkan ke sebuah bus oleh pejabat kesehatan dengan pakaian pelindung setelah tiba di Bandara Internasional Kuala Lumpur di Sepang, Malaysia, 4 Februari 2020. Malaysia Ministry of Health/Muzzafar Kasim/Handout via REUTERS
Iklan

Bila wabah ini selesai dan masih ada manusia yang hidup yang bisa merasakan trauma dan mengais-ngais harapan, atau sebaliknya bila wabah ini selesai, kematian surut dan kerusakan ekonomi berakhir, dan hidup lebih tenang, akan tertera sebuah nama dengan huruf tebal: Tiongkok.

Epidemi Covid-19 adalah proses rebranding RRT: semula terkesan sebagai negeri yang tertutup, tak maju, dan terancam, kini ia tampak sebagai kekuatan positif yang perkasa. Ia bisa mengalahkan wabah dengan rapi-dan tak hanya itu: ia mengulurkan bantuan dan tauladan ke seantero dunia. Kadang-kadang disertai sepotong puisi.

Langsung atau tak langsung, Cina kini sebuah aura. Pengaruhnya meluas, dengan kemampuan teknologi yang tinggi, dengan komunikasi (kata lain: kampanye) yang halus memikat. Tak akan lagi ia dilihat sebagai “yang-lain-yang-tak-jelas”.

Selama 200 tahun lebih dunia mengikuti pandangan rabun Eropa macam itu. Di akhir abad ke-19, seorang sosiolog Rusia, Novikov, memperkenalkan istilah Le péril jaune (Bahaya Kuning)-ekspresi rasialis yang waktu itu, karena Asia dan Afrika tak bersuara, dianggap wajar. Di masa itu juga Wilhelm II, Maharaja Jerman, dengan kepala cemas dan angkuh, menganjurkan kerajaan-kerajaan Eropa menyerbu Tiongkok.

“Kuning” tentu saja, bagi kepicikan Eropa waktu itu, tak hanya “Cina”, tapi juga “Jepang”. Dan ketakutan akan “kuning” itu panjang ceritanya: sejak serbuan bangsa Mongol ke Eropa di abad ke-14 sampai dengan fantasi abad ke-20 tentang Kaisar Ming yang jahat (di angkasa luar) dalam komik Flash Gordon.

Baca Juga:

Paranoia rasial itu kini berkurang, tentu: orang di Eropa mulai gemar nonton Jackie Chan, belajar taichi, dan terpesona kekayaan Jack Ma. Bahkan sudah beberapa dasawarsa ini Cina menakjubkan, bukan saja karena ekonominya tumbuh pesat, tapi juga karena pertumbuhan itu-dengan model kapitalisme-berangkat dari sebuah kekuasaan yang hanya beberapa dasawarsa sebelumnya pernah mematikan kapitalisme. Dalam citra yang populer kini, RRT adalah kisah “kemajuan”: bisa membangun rumah sakit besar dalam beberapa minggu, mendaratkan Chang’e 3 di bulan, dan ilmuwannya, Tu Youyou, perempuan ahli ilmu faal, memperoleh Hadiah Nobel.

Sembilan tahun yang lalu Henry Kissinger menerbitkan buku On China. Ia tentu saja membahas posisi RRT dalam hubungan politik internasional, karena di bidang ini dia memang ahlinya. Yang bagi saya menarik: ia memulai risalahnya dengan membandingkan catur dengan permainan wei qi.

Wei qi punya 180 bidak putih dan 181 bidak hitam yang disusun dan digerakkan dengan strategi mengepung musuh dan meluaskan “wilayah”. Bagi mereka yang belum kenal permainan kuno ini, kata Kissinger (saya tak tahu apakah dia bisa bermain wei qi), tak segera jelas siapa pemenang. Berbeda dengan catur. Dalam catur, pemain yang rajanya tak bisa bergerak lagi segera bisa diputuskan kalah, meskipun permainan baru tujuh langkah. Wei qi lain. Untuk menentukan kemenangan, jumlah bidak yang “masih hidup” harus dihitung bersama “wilayah” yang direbut. Permainan tak akan berakhir jika kedua petanding tak sepakat berhenti. “Catur adalah pertempuran yang segera menentukan [kalah atau menang],” tulis Kissinger, “wei qi peperangan yang diperpanjang.” Kemenangan akhirnya hanya diketahui sebagai beda jumlah.

Dan Kissinger pun mengutip petuah dalam The Art of War yang ditulis Sun Tzu 2.000 tahun yang lalu: “Yang piawai dari segala piawai bukanlah menang di tiap pertempuran, melainkan mengalahkan musuh tanpa sedikit pun berperang.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dan itulah yang dicapai RRT kini: setelah melepaskan diri dari wabah Covid-19 dengan cepat-sebuah prestasi yang mendapat tepuk tangan di seluruh dunia-Cina menang. Pesaingnya, Amerika Serikat di bawah Trump, kewalahan, bebal, berisik dengan diri sendiri. Eropa tak lebih baik.

Tapi ini bukan pertandingan catur; ini wei qi. Kemenangan hanya relatif.

RRT tak akan menjajah dunia. Ongkosnya terlampau mahal untuk itu. Ia akan mengulangi kearifan (dan pragmatisme) zaman Sam Poo Kong: ketika di abad ke-15 Maharaja Yongle mengutus Laksamana Cheng Ho memimpin ekspedisi 307 kapal tujuh kali ke pelbagai kerajaan Asia dan Afrika, tak ada niat kolonisasi. Yang diharapkan pengakuan akan kedahsyatan Dinasti Ming dan upeti raja-raja lokal. Kemudian jalur perdagangan.

Menang tanpa perang dan tanpa kolonisasi-sebuah agenda yang efisien-itulah yang diperoleh RRT kini. Saya tak melihatnya sebagai hasil Konfusianisme atau Marxisme pasca-Mao yang aneh; saya lebih suka menafsirkan sejarah bukan dari isi kepala, melainkan dari kaki yang berjalan. Yang sekarang terlihat adalah Cina yang meneruskan, dengan deras, proyek modernitas-tiga abad setelah Eropa berhasil mencobanya dan kemudian melihat luka-lukanya.

Dalam proyek modernitas, teknologi adalah ukuran pokok kemajuan, alam dan manusia diletakkan dalam kalkulasi, agama dan takhayul disingkirkan. Berbareng dengan itu, ada yang harus dibayar. Modernitas Eropa, seperti terkenal dalam diagnose Max Weber, adalah “kerangkeng besi”: di dunia yang maju itu, sistem dibangun, kehidupan dikendalikan, disiplin ditegakkan. Manusia susut sebagai subyek, seperti Charlie Chaplin dalam film Modern Times.

Demikian pula sukses Cina menghentikan Covid-19: ia berkait dengan kemampuan surveillance supermodern. Di mana-mana alat dipasang dengan kecerdasan-buatan untuk mengintai. Negara mampu mendeteksi siapa yang bervirus-dan juga mengintip, misalnya, siapa tidur dengan siapa.

Mengagumkan. Tapi sejauh ini, belum ada negeri yang ingin meniru kuasa seakbar itu-tanpa peduli maukah warganya diintai tiap hari 24 jam. La visibilité est un piège, kata Foucault. Ketika kau dapat dilihat, kau terjerat.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

1 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


24 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

30 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.