Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Wabah Corona Versus Ekonomi Nasional

image-profil

image-gnews
Petugas keamanan berjaga di depan Masjid Jami Kebon Jeruk, Jakarta, Ahad, 29 Maret 2020. Sebanyak 183 jamaah masjid sempat menjalani isolasi di dalam masjid karena terdapat 3 orang di antara mereka yang positif corona. TEMPO/Muhammad Hidayat
Petugas keamanan berjaga di depan Masjid Jami Kebon Jeruk, Jakarta, Ahad, 29 Maret 2020. Sebanyak 183 jamaah masjid sempat menjalani isolasi di dalam masjid karena terdapat 3 orang di antara mereka yang positif corona. TEMPO/Muhammad Hidayat
Iklan

Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia/EconAc

Di Batavia, pada 1730-an, saat Belanda sedang jaya-jayanya memonopoli jalur perdagangan rempah Nusantara, wabah malaria merebak. Hampir 70 persen pendatang di kota itu terjangkit malaria dan hanya sebagian kecil yang berhasil selamat kembali ke Belanda. Sementara itu, penduduk pribumi hanya terjangkit sedikit, mengingat sistem kekebalan tubuh mereka yang dianggap sudah beradaptasi dengan kondisi daerah itu.

Pada masa itu, Belanda butuh waktu 70 tahun lebih untuk lepas dari ancaman malaria. Namun harga komoditas pala dan cengkih terjun bebas. Perusahaan dagang Belanda, VOC, kelabakan sehingga harus melebarkan sayap ke komoditas lain, seperti kopi dan lada.

Wabah bisa sangat lama teratasi jika belum terdapat hasil penelitian yang komprehensif terhadap penyebab dan cara penyembuhannya. Namun zaman sudah berubah. Berbeda dengan Belanda yang membutuhkan puluhan tahun untuk menemukan tanaman kina sebagai penangkal malaria, dunia kini langsung bereaksi dengan berbagai cara antisipatif hanya dalam waktu singkat terhadap penyebaran virus corona Covid-19. Masker, hand sanitizer, tata cara bergaul, pola hidup sehat, sampai alat-alat kesehatan untuk paramedis kembali didengungkan urgensinya dalam waktu yang sangat cepat. Bahkan beberapa negara justru sudah mengumumkan bakal memproduksi vaksin penangkal Covid-19, seperti Cina, Amerika Serikat, dan Israel.

Tentu hal ini menjadi berita baik di tengah ketakutan yang terus merebak. Setidaknya dunia tidak lagi membutuhkan puluhan tahun untuk mendapatkan kepastian apakah Covid-19 benar-benar bisa dilawan atau tidak. Kendati demikian, imbasnya pada perekonomian dunia sudah tak sempat dibendung. Bursa-bursa utama, termasuk Bursa Efek Indonesia, mendadak terbakar. Bahkan mata uang Garuda pun ikut jungkir balik dengan cepat melesat menembus level Rp 15 ribu per dolar Amerika, lalu menerobos level Rp 16 ribu, dan belakangan digadang-gadang terus berusaha mencoba mendobrak level psikologis Rp 17 ribu per dolar Amerika. Bank Indonesia berusaha mengguyur pasar sekunder dengan likuiditas, tapi psikologi pasar sudah terlalu terperosok ke dalam jurang ketakutan, sulit untuk dibujuk dengan guyuran likuiditas.

Pergerakan negatifnya terbilang cukup cepat sekaligus sangat signifikan. Faktor utama penguatan dolar, pertama-tama, adalah ketakutan itu sendiri. Kekhawatiran pasar pada percepatan resesi dunia akibat wabah corona mengakibatkan aksi panik beli terhadap aset-aset non-dolar dan berpindah ke aset berdenominasi dolar. Tak mengherankan, memang, karena hal semacam ini sudah menjadi kebiasaan pasar. Ketika ancaman krisis makin kuat dan ketidakpastian meningkat, pelaku pasar cenderung memilih aset-aset yang dianggap aman, seperti dolar Amerika dan emas. Permintaan dolar langsung melonjak tajam, yang membuat harganya terbawa naik, walaupun kondisi ekonomi di Amerika sendiri masih sangat tidak pasti.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan kata lain, kedua, kepercayaan terhadap rupiah mendadak melemah. Walhasil, pelaku pasar ramai-ramai meninggalkannya dan berpindah ke aset-aset berdenominasi dolar. Covid-19 hanya menjadi pemicu keberanian pasar. Selama ini, keraguan pasar terhadap pemerintah Indonesia terbilang malu-malu. Di satu sisi, pasar tampak mendukung apa pun kebijakan ekonomi pemerintah. Tapi, di sisi lain, hasil yang diraih jauh dari harapan, terutama pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan investasi, dan upaya-upaya pemerintah untuk menggenjotnya yang tidak mampu meyakinkan pasar. Kedatangan Covid-19 memunculkan keberanian bagi pelaku pasar untuk hengkang dari aset-aset berdenominasi rupiah. Pemerintah dianggap akan ketiban masalah yang lebih berat dan akan semakin kesulitan untuk memperbaiki kondisi makro-ekonomi nasional.

Ketiga, juga dari sisi reaksi domestik, nyaris belum ada sentimen positif yang mampu menahan pelemahan tersebut. Apalagi pemerintah dianggap sangat terlambat dalam bertindak. Beberapa langkah yang diambil pemerintah pun, baik moneter maupun fiskal, belum mampu meyakinkan pasar. Sampai hari ini, kepercayaan terhadap otoritas dalam mengantisipasi dan memulihkan rasa khawatir publik masih sangat rendah. Belum lagi tudingan beberapa pihak internasional yang ragu terhadap langkah-langkah antisipasi yang diambil pemerintah dalam menghadapi penyebaran virus corona dan imbas-imbasnya.

Keempat, harus diakui, selama ini memang kondisi fundamental ekonomi Indonesia sangat rentan terhadap guncangan, tak terkecuali guncangan oleh penyebaran virus Covid-19. Pada saat pemerintah bersiap menggelontorkan anggaran, justru pada saat yang sama pemerintah mengumumkan ancaman defisit fiskal. Sangat mengkhawatirkan, bukan? Apalagi, sebelumnya, ancaman pertumbuhan ekonomi yang akan terperosok ke bawah 5 persen hampir disepakati oleh semua pihak, termasuk pemerintah sendiri.

Ancaman defisit neraca dagang, kekurangan instrumen teknis penanggulangan Covid-19, kelangkaan komoditas tertentu sehingga memperbesar peluang impor, pengalihan belanja negara ke pos-pos kesehatan, pembatalan beberapa proyek strategis nasional, dan lainnya adalah beberapa persoalan yang akan mengurangi daya gedor perekonomian nasional ke depan. Semuanya, diterima atau tidak, adalah masalah-masalah yang memperburuk prospek ekonomi Indonesia di mata pelaku pasar.

Jadi, memang secara keseluruhan, baik fundamental maupun teknis, ekonomi nasional sedang tertekan dan posisi rupiah makin terpojok. Mata uang Garuda berpeluang terus melemah dalam waktu-waktu mendatang di satu sisi, dan angka proyeksi pertumbuhan ekonomi juga sangat berpeluang untuk terus merosot di sisi lain.

 
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

1 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

22 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


24 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

30 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

34 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

49 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

50 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.