Petrus Richard Sianturi
Kandidat Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UGM
Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi Institut Teknologi Bandung memperkirakan puncak wabah Covid-19 di Indonesia akan terjadi pada April hingga Mei. Itu pun dengan syarat terus diupayakan penanganan yang komprehensif, khususnya untuk mencegah penyebaran yang lebih luas agar jumlah korban terinfeksi dapat ditekan. Berkaca pada kasus Italia dengan korban meninggal terbanyak di dunia, langkah-langkah antisipasi, termasuk ketegasan dalam memastikan penyebaran virus corona tidak bertambah, harus konsisten dilaksanakan.
Social distancing atau jaga jarak aman yang diupayakan sebisa mungkin dapat menekan jumlah orang yang terinfeksi. Dengan sifat virus yang sangat mudah menular, social distancing tidak bisa lagi ditempatkan sebagai imbauan, melainkan kewajiban bagi siapa pun. Konsekuensinya adalah perlu segera dikeluarkan kebijakan-kebijakan setingkat peraturan pemerintah untuk memastikan bahwa hal ini dapat ditaati semua warga negara. Ini adalah persoalan hukum.
Permintaan agar masyarakat melakukan social distancing kini masih sebatas imbauan dan tentu tidak cukup. Nyatanya, banyak orang masih mengabaikan dengan sengaja imbauan ini. Kawasan Puncak dan beberapa tempat hiburan bahkan masih ramai pada saat korban wabah bertambah. Masih banyak pihak yang melakukan kegiatan dengan jumlah orang yang banyak. Siswa dan mahasiswa yang diharapkan belajar dari rumah justru bermain di luar.
Untuk itu, kewajiban masyarakat untuk melakukan social distancing harus dimuat dalam peraturan, yang jika diabaikan akan menimbulkan konsekuensi berupa sanksi. Persoalan ini memang akan berkaitan dengan pembatasan hak individual. Maka, berdasarkan konstitusi, pembatasan hak harus didasari undang-undang. Presiden mungkin dapat mempertimbangkan untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang upaya-upaya penanganan wabah Covid-19, yang salah satunya mengatur bahwa social distancing adalah kewajiban. Pembatasan hak individual ini tentu sah karena kondisi sekarang adalah kondisi genting yang mengancam kesehatan publik.
Persoalan hukum lainnya berkaitan dengan keseimbangan antara hak-hak pekerja dan kewajiban kerja mereka. Pandemi ini menyerang khususnya sektor-sektor ekonomi. Dunia usaha mengalami kerugian yang tidak sedikit karena banyak usaha harus menghentikan produksi. Yang jelas, kesehatan pekerja tetap harus diutamakan sebagai kewajiban pelaku usaha yang telah diatur dalam undang-undang.
Untuk itu, pemerintah harus memastikan semua pelaku usaha, khususnya di daerah-daerah paling terancam, memberikan kebijakan internalnya yang lebih mendahulukan kesehatan pekerja daripada perhitungan untung-rugi usaha. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, pemerintah adalah pihak yang menjadi penengah antara pekerja dan pelaku usaha agar pemenuhan hak dan kewajiban di antara para pihak dapat seimbang.
Dalam situasi sulit seperti ini, pemerintah harus memastikan pelaku usaha tidak mengabaikan kewajiban mereka untuk memberikan upah yang menjadi hak pekerja, termasuk pekerja dengan upah harian. Namun, bagi usaha yang tetap mengharuskan pekerja masuk, diperlukan kebijakan mengenai waktu kerja, kesehatan lingkungan kerja, dan pola interaksi antar-pekerja untuk menghindari penularan virus corona.
Selain itu, ada persoalan penegakan hukum kepada penyebar berita, data, atau informasi bohong terkait dengan Covid-19 dan setiap upaya penanganannya. Sejak kasus corona pertama kali terjadi di Wuhan, hoaks menyebar di Indonesia dengan segala macam bentuk, terutama penyebaran ketakutan. Sampai hari ini, masih banyak hoaks yang menyebar dan membuat simpang- siur data dan jumlah korban serta informasi tentang fasilitas kesehatan yang menjadi rujukan, juga isu-isu pengobatan alternatif yang mampu menghancurkan Covid-19.
Kerugian yang diakibatkan oleh berita bohong atau hoaks ini akan jauh lebih berbahaya ketimbang Covid-19 itu sendiri jika diabaikan. Sudah barang tentu di tengah situasi sulit seperti sekarang, ada saja pihak-pihak yang ingin membuat situasi semakin meresahkan dan mengambil keuntungan darinya. Dalam logika hukum, siapa saja subyek hukum yang sengaja melanggar hukum di dalam keadaan yang memaksa, termasuk dalam bencana non-alam seperti wabah Covid-19, harus dihukum lebih tegas. Penyebaran berita bohong/hoaks juga akan mengaburkan setiap kebenaran data dan informasi yang sesungguhnya. Jika diabaikan, penanganan wabah Covid-19 tidak akan berjalan dengan lancar.
Bobot ketiga persoalan hukum di atas merupakan sebagian kecil dari persoalan pandemi Covid-19. Namun, jika diabaikan, dapat dipastikan bahwa segala upaya penanganan yang sedang kita upayakan bersama sekarang tidak akan berjalan efektif. Telatnya pencegahan pada tahap awal harus dibayar dengan ketegasan sikap pada saat-saat yang semakin genting seperti sekarang.