Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Momentum Membenahi Mahkamah

Oleh

image-gnews
Adik ipar mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi, Rahmat Santoso, seusai memenuhi panggilan penyidik untuk menjalani pemeriksaan, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Rabu, 4 Maret 2020. Rahmat Santoso, yang berprofesi sebagai advokat, diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Direktur Multicon Indrajaya Terminal, Hiendra Soenjoto, dalam tindak pidana korupsi kasus dugaan suap sebesar Rp.46 miliar kepada tersangka Sekretaris Mahkamah Agung 2011-216, Nurhadi terkait dengan pengurusan perkara di Mahkamah Agung Tahun 2011-2016. TEMPO/Imam Sukamto'
Adik ipar mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi, Rahmat Santoso, seusai memenuhi panggilan penyidik untuk menjalani pemeriksaan, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Rabu, 4 Maret 2020. Rahmat Santoso, yang berprofesi sebagai advokat, diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Direktur Multicon Indrajaya Terminal, Hiendra Soenjoto, dalam tindak pidana korupsi kasus dugaan suap sebesar Rp.46 miliar kepada tersangka Sekretaris Mahkamah Agung 2011-216, Nurhadi terkait dengan pengurusan perkara di Mahkamah Agung Tahun 2011-2016. TEMPO/Imam Sukamto'
Iklan

PERGANTIAN Ketua Mahkamah Agung pada awal April nanti menjadi momentum krusial bagi Mahkamah untuk melakukan reformasi internal dan membersihkan lembaga itu dari korupsi. Sederet kasus rasuah yang melibatkan hakim dan pejabat di lembaga peradilan itu membuat kepercayaan publik kepada Mahkamah merosot. Mahkamah seharusnya menjadi tempat terakhir bagi masyarakat untuk memperoleh keadilan, bukan tempat para penjahat mempermainkan hukum.

Publik menyoroti kinerja Mahkamah Agung karena sejumlah kasus korupsi yang menyeret hakim dan pejabat di lembaga itu. Indonesia Corruption Watch mencatat, di era kepemimpinan Muhammad Hatta Ali (2012-2018), terdapat sebelas hakim yang terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi. Itu belum termasuk kasus yang melibatkan pejabat Mahkamah, seperti kasus mantan Sekretaris Mahkamah Agung,Nurhadi. Ia terseret masalah pengaturan perkara di Mahkamah pada 2016 dan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Wibawa Mahkamah Agung merosot di mata publik juga akibat sejumlah putusan kontroversial lembaga peradilan. Tahun lalu, setidaknya ada dua putusan bermasalah menyangkut kasus besar yang menjadi perhatian publik. Pertama, vonis bebas terdakwa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Syafruddin Arsyad Temenggung, di tingkat kasasi. Kedua, vonis bebas terdakwa kasus suap proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1, Sofyan Basir, pada pengadilan tingkat pertama.

Lembaga peradilan tampaknya belum berpihak pada pemberantasan korupsi. Selain putusan Mahkamah yang mengundang curiga, masih banyak vonis ringan bagi terdakwa korupsi. Pada 2018, misalnya, menurut data ICW, rata-rata vonis untuk terdakwa korupsi hanya 2 tahun 5 bulan penjara. Adapun sepanjang 2017-2018, Mahkamah setidaknya telah membebaskan 101 narapidana korupsi melalui upaya hukum peninjauan kembali.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Itulah sederet pekerjaan rumah pengganti Hatta Ali, yang akan pensiun pada 7 April nanti. Selain memberantas korupsi di lembaga peradilan, Ketua Mahkamah Agung berikutnya mesti membereskan tumpukan kasus, mempersingkat waktu penyelesaian perkara, memperbaiki rekrutmen hakim, dan mendorong keterbukaan informasi di lembaga peradilan.

Baca Juga:

Untuk membereskan semua itu, Mahkamah Agung tidak hanya membutuhkan sosok yang berintegritas, tapi juga yang cakap dalam mengelola urusan internal lembaga. Celakanya, pemilihan ketua dilakukan di antara para hakim agung. Untuk mempertahankan independensi, mekanisme ini bagus-bagus saja. Tapi, tanpa partisipasi dan pengawasan publik, seleksi tertutup itu rawan kongkalikong. Agar terbuka, Mahkamah sebaiknyamelibatkan publik dengan membentuk panitia seleksi. Tentu saja mula-mula dengan memperbaiki aturan tentang seleksi Ketua Mahkamah Agung. Mahkamah hendaknya juga melibatkan KPK serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

Mahkamah Agung saat ini cenderung bergerak tanpa pengawasan setelah kewenangan Komisi Yudisial untuk memonitor hakim agung dipangkas Mahkamah Konstitusi pada 2006. Para akademikus dan pemangku kepentingan hendaknya memikirkan cara agar kontrol terhadap Mahkamah Agung dapat kembali ditegakkan.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

11 jam lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


23 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

29 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.