Mahlil Ruby
Pemerhati Kesehatan Masyarakat dan Ketua Bidang Pembiayaan Kesehatan PB IDI
Semua benua kini sudah diinvasi oleh virus corona Covid-19. Hingga 8 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat 105.523 korban dengan 3.584 atau 3,4 persen di antaranya tewas. Virus itu memakan korban terbesar di Cina (80.859 atau 76,6 persen kasus) dan 24.664 kasus tersebar di 100 negara lain dengan kasus terbanyak di Korea Selatan (7.134 kasus), Italia (5.883), Iran (5.823), Jerman (795), Prancis (706), dan Jepang (317). Cina telah mampu menekan jumlah kasus baru, tapi negara-negara lain belum.
Sebelum 2 Maret 2020, Indonesia termasuk negara yang tidak diserang Covid-19. Beberapa negara mencurigai Indonesia menyembunyikan kasus atau ketidakmampuan sistem kesehatan mendeteksinya. Mereka berasumsi bahwa virus itu telah mengepung Indonesia dari Singapura, Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Luasnya rentang geografis Indonesia dan longgarnya kebijakan visa kunjungan semakin menambah keraguan negara-negara itu.
Tidak adanya kasus Covid-19 di Indonesia waktu itu mungkin karena anugerah dan validitas sampel (spesimen). Imunitas bawaan lahir (innate immunity) mungkin menjadi anugerah bangsa Indonesia sehingga mampu bertahan dari serangan virus tersebut. Banyak literatur mengungkapkan bahwa setiap ras berbeda respons imunitasnya terhadap infeksi virus, bakteri, dan lainnya. Ras bangsa Indonesia yang dominan Malayan Mongoloid (deutro dan proto Melayu) dan beberapa ras lain mungkin lebih tahan terhadap Covid-19 dibanding ras Asiatic Mongoloid dan Caucasian. Namun peran innate immunity pada kasus Covid-19 memerlukan penelitian lebih dalam.
Validitas sampel yang dikirim ke Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan dapat saja terjadi false negative. Walaupun laboratorium sudah mendapat sertifikat WHO, manajemen sampel belum dibakukan sejak pengambilan sampel (menyeka tenggorokan), pengemasan, pembawa, dan waktu tempuh ke laboratorium. Manajemen sampel ini dapat menyumbangkan hasil negatif palsu.
Tapi pertahanan Indonesia bobol juga ketika Presiden Joko Widodo mengumumkan dua orang di Indonesia positif corona pada 2 Maret lalu. Pemerintah segera melakukan penangkalan, edukasi masyarakat, dan penanganan kasus. Namun pemerintah terkesan belum siap dengan kondisi terburuk seperti di Wuhan, Cina. Indonesia belum memiliki strategi penyediaan ruang rawat isolasi terhadap puluhan ribu kasus, kebutuhan ratusan ribu alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan, kapasitas pemeriksaan laboratorium, dan pembiayaan.
Politik Indonesia berbeda dengan Cina. Cina mampu mengisolasi sebuah daerah untuk mencegah penyebaran kasus dengan satu titah saja. Apakah hal yang sama mampu dilakukan di Indonesia? Bahkan ada tersangka Covid-19 yang melarikan diri ketika dikarantina. Selain faktor ketidaktahuan penderita, Indonesia belum memiliki kebijakan penjaminan kebutuhan sehari-hari bagi kepala rumah tangga yang dikarantina. Celakanya, masyarakat turut mengucilkan keluarganya. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan konflik horizontal.
Pemerintah harus mampu mencegah kepanikan masyarakat, terutama pada kondisi terburuk. Setelah Presiden mengumumkan dua kasus Covid-19, masyarakat menyerbu masker, alkohol, dan menimbun bahan pokok. Ini merefleksikan bahwa pemerintah kurang mendidik masyarakat ketika Covid-19 masuk ke sini. Pemerintah seharusnya punya skenario terhadap kondisi terburuk sehingga rakyat yakin pemerintah mampu menyediakan kebutuhan pokok dan lainnya dalam keadaan darurat. Apabila skenario pemerintah disosialisasikan dengan baik, rakyat tidak akan sepanik ini.
Demikian juga dengan kompetensi, kesehatan, dan kesejahteraan tenaga kesehatan. Banyak tenaga kesehatan, terutama di daerah-daerah, belum terlatih dengan baik dalam penanganan Covid-19. Pada kondisi terburuk, tenaga kesehatan menjadi yang paling tinggi mengalami tekanan mental karena potensi tinggi tertular dan tekanan fisik akibat beban kerja berlebihan. Bagaimana pemerintah memberi jaminan jika mereka tertular atau meninggal dan penghargaan finansialnya?
Sudah saatnya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mencadangkan anggaran besar yang digunakan pada masa bencana penyakit dan bencana alam lainnya. Dengan demikian, rumah sakit swasta mau berkolaborasi dalam menangani kasus-kasus wabah. Pemerintah dapat merancang keterlibatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, yang sumber dananya di luar sumber iuran biasa.
Musuh dunia tidak datang dari luar angkasa dengan mesin perang yang canggih. Mereka datang dari sekitar kita. Kasus sindrom saluran pernapasan akut (SARS) pada 2003 dan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS) pada 2012 menunjukkan ada loncatan virus ke manusia berturut-turut melalui perantara musang dan unta. Hewan perantara Covid-19 belum diketahui pasti. Dunia perlu menata kembali hubungan manusia dengan hewan agar musuh kecil ini tidak menyusup ke dalam sel-sel tubuh manusia.