Gara-gara pemerintah tak pernah tegas terhadap kelompok intoleran, pelanggaran atas hak kelompok minoritas terus berulang. Terakhir, yang menjadi korban tirani mayoritas itu adalah jemaah Ahmadiyah Parakansalak, Sukabumi, Jawa Barat.
Alih-alih melindungi hak jemaah Ahmadiyah, aparat keamanan di Sukabumi malah mendiskriminasi mereka. Polisi dan tentara setempat menyegel Masjid Al-Furqon yang sedang diperbaiki jemaah Ahmadiyah sejak 19 Februari lalu. Masjid yang dibakar pada 2008 itu diperbaiki karena jemaah Ahmadiyah hendak menggunakannya untuk beribadah pada Ramadan nanti. Kini warga Ahmadiyah itu sedang memperjuangkan hak melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Aparat berdalih, bila renovasi berlanjut, jemaah Ahmadiyah akan kembali diserang oleh warga sekitar. Hal ini merupakan pola lama dalam pembiaran atas intoleransi. Aparat pemerintah sering melarang kegiatan kelompok minoritas dengan dalih mencegah serangan dari kelompok mayoritas atau memelihara harmoni sosial.
Ini jelas-jelas penghinaan atas logika, sekaligus pengabaian kewajiban aparat negara. Penyegelan Masjid Al-Furqon sudah pasti melanggar hak atas berkeyakinan, beragama, dan beribadah yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan ancaman serangan kelompok mayoritas belum tentu terjadi. Kalaupun ancaman itu benar adanya, aparat negara seharusnya menangkal mereka yang hendak berbuat huru-hara, bukan malah mengorbankan hak konstitusional warga Ahmadiyah.
Dalam banyak kasus, bara konflik juga tak kunjung padam karena pemerintah pusat sering lepas tangan. Merespons kasus Parakansalak, alih-alih turun tangan, Kementerian Agama malah meminta Forum Kerukunan Umat Beragama, Kantor Wilayah Kementerian Agama, dan Majelis Ulama Indonesia Sukabumi menyelesaikan diskriminasi atas jemaah Ahmadiyah.
Tentu saja pemerintah daerah dan organisasi yang mereka ciptakan berkewajiban mengusahakan perdamaian antara kelompok Ahmadiyah dan kelompok lain yang menolak mereka. Namun Kementerian Agama seharusnya belajar dari pengalaman pada konflik sebelumnya. Pemerintah dan organisasi di daerah kerap tak berjarak dengan pihak-pihak yang terlibat konflik. Ketika konflik melibatkan kelompok mayoritas-minoritas, pemerintah dan organisasi di daerah biasanya lebih condong pada kelompok mayoritas. Itu artinya pelanggaran atas hak kelompok minoritas bisa terus terjadi.
Pemerintah pusat sudah seharusnya bertanggung jawab atas persekusi yang terus menimpa jemaah Ahmadiyah. Sebab, hal itu tak terlepas dari kebijakan pusat, yakni Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung Tahun 2008 tentang Ahmadiyah. Keputusan yang melarang jemaah Ahmadiyah menyiarkan dan menjalankan keyakinan mereka secara terbuka itu kerap menjadi dalih kelompok intoleran untuk melakukan persekusi.
Agar diskriminasi dan persekusi terhadap jemaah Ahmadiyah tak berulang, pemerintah harus mencabut surat keputusan bersama tahun 2008 itu. Pada saat yang sama, pemerintah juga harus menindak tegas kelompok intoleran yang melanggar hak konstitusional warga Ahmadiyah. Ketegasan pemerintah dalam menjamin hak kaum minoritas merupakan prasyarat utama agar keragaman di negeri ini tetap terjaga.