Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic & Educational Business Institute, Jakarta, dan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
Sejarah percukaian Indonesia menapaki babak baru. Hasrat pemerintah untuk memasukkan plastik sebagai barang kena cukai (BKC) pada pertengahan Februari lalu mendapat persetujuan dari Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat. Plastik akan menjadi barang kena cukai keempat setelah produk tembakau, alkohol, dan minuman beralkohol.
Dengan memiliki empat BKC pun, Indonesia masih tercatat sebagai negara dengan obyek cukai paling sedikit. Kebanyakan negara lain di kawasan ASEAN memiliki tujuh hingga 12 obyek cukai. Maka, perkembangan percukaian akan terus berlanjut. Cukai atas minuman berpemanis dan emisi karbon masuk dalam daftar usulan.
Persetujuan DPR yang lebih mendahulukan usul cukai plastik ini adalah pengendalian konsumsi sekaligus menambah pemasukan negara. Konsumsi plastik menembus 3,5 juta ton per tahun. Ironisnya, pertumbuhan konsumsi plastik justru lebih tinggi daripada laju pertumbuhan ekonomi.
Upaya pengendalian konsumsi plastik sebelumnya diinisiasi oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dalam bentuk kantong plastik berbayar. Pungutan sebesar Rp 200 per buah yang diberlakukan sejak 21 Februari 2016 itu kemudian berhenti tanpa alasan yang jelas.
Secara yuridis, mengubah pungutan kantong keresek menjadi cukai adalah sebuah keharusan karena semua penerimaan negara di luar pajak harus dimasukkan ke pos penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Pungutan kantong plastik berbayar kini memiliki payung hukum yang kuat.
Namun pengenaan cukai plastik perlu ditelaah secara cermat. Pengenaan cukai secara "pukul rata" sebesar Rp 30 ribu per kilogram atau Rp 200 per lembar malah bisa menjauhkannya dari sasaran pencegahan.
Metode tersebut secara tidak langsung mengasumsikan semua output plastik yang terkena cukai adalah produk baru. Padahal output plastik yang terkena cukai bisa jadi berasal dari daur ulang atau pakai ulang. Pemerintah seakan-akan menafikan upaya-upaya konservasi.
Pungutan yang sama rata (flat) atas BKC agaknya membelokkan alur logika dari cukai ke pajak. Pajak lebih menitikberatkan pada aspek perbuatan atau transaksi yang terjadi. Konsekuensinya, pembayar pajak tidak langsung mendapatkan balas jasa.
Jika tarif flat ini diterapkan, perilaku transaksional niscaya terjadi. Dengan membayar "pajak" plastik, produsen merasa sudah memenuhi kewajibannya. Maka, menaikkan produksi plastik untuk memenuhi permintaan pasar seolah-olah sah menjadi "hak"-nya tanpa ada konsekuensi apa pun.
Tarif flat juga mengasumsikan dampak lingkungannya sama besar, padahal tidak demikian. Jenis plastik yang berdampak negatif lebih besar bagi lingkungan seharusnya dikenai tarif cukai yang tinggi pula. Tarif flat tampaknya hanya didasari faktor kepraktisan.
Namun tarif yang ideal tersebut membuka ruang bagi pemungut cukai untuk bias ke tujuan budgeter, sejalan dengan sistem target di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Untuk mengejar target penerimaan setiap tahun, Direktorat dihadapkan pada opsi menaikkan tarif cukai dan/atau kuantitas BKC.
Di satu sisi, kecenderungan tarif cukai untuk naik setiap tahun akan senantiasa terjadi. Di sisi lain, dengan asumsi persentase tarif cukai tidak berubah, kenaikan konsumsi plastik seolah-olah "diidamkan" Direktorat agar target penerimaan tercapai. Tentu ini bertentangan dengan filosofi pencegahan yang diemban cukai.
Ujung-ujungnya, terjadi penggeseran beban pungutan kepada konsumen dalam bentuk kenaikan harga jual. Lantas apakah harga jual yang lebih tinggi mampu menurunkan penggunaan plastik?
Penurunan konsumsi plastik dapat terlaksana apabila ada barang substitusi. Untuk jenis bahan plastik di sektor tertentu, memang telah tersedia penggantinya. Namun bahan plastik sebagai kemasan produk makanan, minuman, atau kosmetik konon belum punya pengganti yang sepadan.
Dalam kasus ini, pungutan cukai akan menghadirkan dead weight loss, yaitu beban kerugian yang harus ditanggung oleh masyarakat. Nilai ekonomi yang hilang dari pengurangan konsumsi plastik tidak sebanding dengan besaran finansial yang diraup pemerintah.
Hal ini mengisyaratkan bahwa penerimaan negara dari sektor cukai sesungguhnya semu. Kesemuan ini juga bisa dilacak dari cakupan alokasi pemanfaatannya. Menurut definisi, cukai adalah charge. Hal ini berakibat langsung bahwa hasil pemungutan cukai harus dikembalikan ke area di sekitar BKC alih-alih untuk belanja yang lain.
Belanja yang berkaitan langsung dengan BKC adalah pengembangan teknologi plastik ramah lingkungan, rehabilitasi lingkungan yang tercemar, dan penanggulangan limbah plastik. Pelaku ekonomi yang terkena efek negatif dari plastik ini pun bisa mengklaim atas penerimaan cukai yang terhimpun di kas negara.
Kebijakan cukai plastik harus didesain secara komprehensif dengan mengkompromikan kepentingan produsen, konsumen, dan pemerintah serta lingkungan hidup. Di tengah situasi ekonomi yang bergejolak, penerapan perluasan cukai akan menjadi beban masyarakat luas.
Pemilihan waktu, cara pemungutan, dan jenis produk yang akan terkena cukai perlu dikaji secara hati-hati. Apa pun desain aturan turunannya nanti, kebijakan cukai tetap harus mampu menjalankan fungsinya sebagai instrumen pengendalian konsumsi.