INI sebenarnya bukan cerita baru-kehidupan prajurit dan jenderal TNI ibarat bumi dan langit.Ditambah perilaku petinggi yang korup, ketimpangan itu menjadi-jadi. Di Kompleks Perumahan Angkatan Darat Cijantung II, Jakarta Timur, sejumlah perwira tinggi dan pensiunan jenderal diketahui bisa menempati lebih dari satu kaveling rumah. Padahal, di tempat lain, tentara berpangkat rendah kesulitan memiliki hunian.
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat-dalam hal ini Komando Daerah Militer Jayakarta atau Kodam Jaya-semestinya tak membiarkan hal tersebut terjadi. Perwira tinggi dan purnawirawan memang boleh menempati kaveling di sana hingga ia dan istrinya wafat. Tapi penguasaan lebih dari satu kaveling betul-betul keterlaluan.
Ketimpangan disebabkan oleh pembiaran terhadap mereka yang sebenarnya tak berhak tinggal di sana. Siapa pun, perwira atau bukan, yang ingin memiliki hunian disebut-sebut bisa "membeli" kaveling dari penghuni sebelumnya. Jika terjadi kesepakatan, penghuni baru melapor ke kesatuan. Penguasaan lebih dari satu kaveling oleh sejumlah purnawirawan juga menggunakan modus ini.
Angkatan Darat tak boleh menutup mata terhadap pengalihan surat izin penghunian tersebut. Pemimpin Angkatan Darat harus melarang praktik itusehingga hunian bisa ditempati perwira yang berhak. Selama ini, praktik oper VB atau verhuren besluit seperti di Cijantung terjadi karena aturannya tidak jelas. Tanpa landasan hukum, penertiban sulit dilakukan.
Kodam Jaya memang pernah merazia. Tapi itu hanya dilakukan terhadap rumah yang ditinggali kerabat purnawirawan. Tak pernah ada penertiban terhadap jenderal atau purnawirawan yang memiliki lebih dari satu kaveling. Perlakuan berat sebelah ini makin membenarkan anggapan bahwa hukum telah tumpul ke atas tapi tajam ke bawah.
Melihat kesenjangan kesejahteraan antara perwira dan bintara serta tamtama, bisik-bisik bahwa "tak ada jenderal yang miskin" bisa jadi benar. Sejumlah jenderal bisa dengan gampang mengakses fasilitas dan sumber daya, tapi lain halnya tentara berpangkat rendah. Sering kita dengar ada prajurit yangmenjadi beking tempat hiburan atau berbuat tindakan kriminal untuk menambah penghasilan. Ironi ini mungkin tak akan terjadi jika para komandan lebih memikirkan nasib anak buah ketimbang kepentingan pribadinya.
Para jenderal seharusnya berkaca pada M. Jusuf (almarhum), Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada 1978-1983. Jusuf dikenal sebagai jenderal yang memperhatikan kesejahteraan prajurit. Dia membangun perumahan tentara berpangkat rendah di banyak tempat. Ia tak menumpuk hartadan dicintaibawahannya-keteladananyang sekarang sulit ditemukan.
Pemerintah selayaknya merealisasi janji memberikan keringanan kredit perumahan hingga 30 tahun bagi prajurit. Saat ini ada lebih dari 250 ribu tentara-lebih dari separuh anggota TNI-yang belum punya rumah.