Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Pohon-pohon

image-profil

Oleh

image-gnews
Warga berjalan di sisi himbauan revitalisasi pohon yang berada jalur pedestrian Kramat, Jakarta, Sabtu, 9 November 2019. Pemprov DKI Jakarta akan merevitalisasi dan meremajakan pohon-pohon yang berada di jalur Jalan Kramat Raya. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Warga berjalan di sisi himbauan revitalisasi pohon yang berada jalur pedestrian Kramat, Jakarta, Sabtu, 9 November 2019. Pemprov DKI Jakarta akan merevitalisasi dan meremajakan pohon-pohon yang berada di jalur Jalan Kramat Raya. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Iklan

Siapa yang pernah menanam pohon akan tahu bahwa yang tumbuh bukan hanya sebuah batang dalam ruang, tapi juga sebentuk tanda dalam waktu. Berapa ratus tahun terhimpun dalam hutan yang masih utuh di sekeliling Danau Tamblingan? Ribuan pokok tua dan muda saling merapat, jalin-menjalin bersama perdu, carang, dan sulur; sekitar pun tambah rimbun oleh gugus-gugus pakis yang entah sejak kapan menyembunyikan jalan setapak.

Senja itu saya berjalan di sana, di tepi telaga di perbukitan Bali Utara itu, menembus semak, entah berapa kilometer, dalam kesepian yang hanya terusik oleh bunyi langkah sendiri. Jauh di timur, di tepi danau, tampak sebuah puri kecil yang nyaristerlindung. Di saat itu, di separuh gelap yang hijau itu, yang kekal hadir. Keabadian bergerak. Tiap detik seakan-akan menyelinap menyatu dalam klorofil daun damar. Abad seakan-akan bergetar di ruas batang trembesi.

Mungkin sebab itu, ketika hutan ditebang, waktu pun berubah. Bagaikan sepetak tanah yang gundul, di mana jalan akan direntang dan pasar akan dibangun, waktu pun terhantar, datar, siap diukur. Tamasya itu-hutan yang hilang, waktu yang dirampat-tak lagi punya tuah. Ia hanya punya harga. Ia hanya punya guna. Tiap jengkal telah tercampak, menyerah ke dalam rengkuhan kalkulasi manusia. Waktu yang menakjubkan, juga "puak yang perkasa dan damai" itu-ungkapan Marcel Proust tentang pohon-pohon-pun punah, tak akan dilahirkan kembali.

Hutan, saya kira, adalah wilayah penghabisan di mana Kegaiban masih belum hilang, di mana Misteri belum dipetakan. Itu sebabnya, dulu, raja-raja yang uzur dan tua menyingkir ke dalamnya sebagai petapa, untuk-seperti Destarastra, disertai Gandari dan Kunthi dalam bagian terakhir Mahabharata-menantikan mati. Para penguasa yang mengubah diri jadi resi itu tak lagi berniat menaklukkan dunia. Mereka datang ke rimba menemui kembali pohon-pohon (seraya mengenakan pakaian dari kulit kayu dan anyaman gelagah) dan berharap untuk dapat bertaut lagi dengan Kegaiban yang dulu mereka lupakan.

Berapa lama gerangan Kegaiban itu dilupakan, sehingga tuah alam sirna? Hilangnya pesona dunia, the disenchantment of the world, bermula ketika datang "modernitas"-itulah yang dikatakan dalam risalah termasyhur Max Weber. Tapi mungkin lupa dan lenyap itu jauh lebih tua ketimbang abad ke-17 Eropa. Bagi saya, lupa itu bisa datang kapan saja, ketika manusia melihat dunia hanya sebagai sehimpunan obyek yang siap dalam jangkauannya, untuk disimpulkan dalam "pengetahuan" atau untuk diotak-atik sebagai alat. Pada saat itu, manusia pun lupa bahwa ia pernah terpesona oleh apa yang disebut dalam filsafat Jawa sebagai sangkan paraning dumadi, "asal dan bakal apa yang ada, yang men-jadi". Pada saat itu, manusia yang lupa juga tak lagi tersentuh oleh apa yang disebut orang-orang tasawuf sebagai wujud.

Baca Juga:

Pada saat itu manusia sibuk dengan apa yang tampak dan terdengar, dengan segala yang dapat diraba dan dicium, dengan apa yang ada yang di hadapannya-dan ia pun abai bahwa "ada" (wujud) adalah sesuatu yang ajaib, sebenarnya: Kenapa kok ada "ada"? Kenapa bukan "tidak ada" saja?

Pertanyaan itu mengusik, tapi bukan sebuah pengusik. Ia sebenarnya sebuah getar yang menggugah. Dan di gua pertapaan yang dilindungi pohon-pohon, "puak yang perkasa dan damai", getar yang menggugah tapi telah dilupakan itu hendak ditebus kembali. Dengan diam, sunyi, rela, melepas hasrat. Dengan, dalam kata-kata penyair Wordsworth,"kepasifan yang arif".

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di sanalah ruang yang statis itu bertaut dengan waktu yang berlalu. Sang petapa membiarkan, mempersilakan, apa saja yang di luar egonya untuk merayakan wujud. Ia tak mengalahkan waktu. Ia tak membabatnya hingga datar, rata, terukur, seperti sang pembangun yang menjarah hutan. Sang petapa, raja yang telah jadi resi itu, tak lagi hendak menentukan. Ia ditentukan. "Lalu waktu, bukan giliranku...," kata salah satu puisi meditatif Amir Hamzah. Sang resi mencoba meresapkan betapa abad membentuk batang, tahun menyambung dahan, dan, di dekat kakinya, embun menyusun jaring lembut di antara rumput dan daun putri malu. Ia kini bahkan merasakan bahwa basah adalah momen dari air yang terus-menerus bergerak, entah dari mana, entah ke mana. Mungkin dalam kekekalan.

Konon, seorang sufi akan menyebut bahwa pada saat itulah ia menemukan tajalli, manifestasi-diri Yang Maha-Gaib. Ia akan teringat akan sebuah hadith bahwa Tuhan menyembunyikan diri-Nya "di balik tujuh puluh ribu cadar cahaya dan kegelapan". Ia akan langsung merasakan betapa benar dan indahnya kalimat itu: kedua anasir dalam cadar itu hadir, dan yang gelap tak akan menyingkirkan yang terang, juga sebaliknya.

Sebab sang sufi adalah manusia yang dulu ibarat raja, atau sebuah subyek yang imperial, yang ingin mengendalikan dunia di luar dirinya dan sebab itu tak hendak membiarkan hal-hal yang gelap hadir. Kini, sebagai resi yang pasif tapi arif, ia bersyukur bahwa kegelapan itu juga bagian dari rahmah. Sebab, sebagaimana dikatakan dalam hadis pula, seandainya Tuhan menanggalkan semua cadar, cahaya yang menyemburat dari Paras-Nya akan serta-merta "menghancurkan penglihatan makhluk mana saja yang berani menatap".

Mungkin tajalli itulah Lichtung-kata yang dipilih Heidegger, ketika Ada (Sein) menyatakan diri, ketika Yang Gaib mengejawantah. Lichtung, dalam deskripsi George Steiner, penafsir Heidegger, adalah "seperti cahaya yang bergerak di sekitar obyek-obyek dalam hutan yang gelap, meskipun kita tak tahu dari mana sumbernya".

Hutan gelap, rimba purba, tapi yang terkadang menghadirkan cahaya yang mempesona tanpa jelas sumbernya-mungkin itulah kiasan yang baik hari ini: kerinduan manusia kepada tiap getaran dari Kekekalan Yang Maha-Gaib, sekaligus Yang Maha-Indah, di mana hidup adalah pohon-pohon lebat yang mensyukuri matahari. Tapi kita menebangnya, kita menghancurkannya, dan nihilisme yang menakutkan itu pun mulai. l Goenawan Mohamad

*) Pernah dimuat di Tempo edisi 16 November 2003

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

1 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


24 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

30 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.