Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia/EconAct
Selama 2019, tercatat jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia mencapai 16,11 juta kunjungan atau naik 1,88 persen dibanding jumlah kunjungan wisatawan mancanegara pada periode yang sama tahun sebelumnya, yang berjumlah 15,81 juta kunjungan. Meskipun demikian, angka tersebut jauh dari target yang pernah ditetapkan, yakni kira-kira 20 juta.
Memang, rata-rata pertumbuhan kunjungan wisatawan mancanegara dalam lima tahun (2014-2018) sempat mencapai 14 persen per tahun. Angka tersebut selalu dibangga-banggakan sebagai lebih tinggi dibanding rata-rata pertumbuhan kunjungan pada periode 2009-2013, yang hanya sebesar 9 persen per tahun. Menurut data Badan Pusat Statistik, kunjungan pada 2009 tercatat sebanyak 6,32 juta orang. Artinya, angkanya hanya meningkat menjadi 8,8 juta orang pada akhir 2013.
Namun, selain agak kurang kontekstual untuk membandingkan dua periode waktu tersebut, sebenarnya dalam tiga tahun belakangan, tren penurunan kunjungan wisatawan mancanegara sangat nyata terjadi. Hal tersebut jelas terlihat dari pertumbuhan pada 2019 yang hanya tersisa 1,88 persen, sangat kurang kontekstual untuk disembunyikan di balik angka rata-rata pertumbuhan untuk beberapa tahun sebelumnya. Tentu, risiko tekanannya akan bertambah jika kita masukkan ancaman virus corona ke daftar penghambat. Celakanya, pergantian menteri pariwisata tidak dibarengi dengan pergantian sosok yang benar-benar baru dengan paradigma kepariwisataan yang baru pula.
Istana masih sangat yakin akan beberapa strategi kepariwisataan nasional, yang sejatinya terbukti tak bergigi. Sebut saja strategi sepuluh destinasi prioritas yang kemudian dikerucutkan menjadi lima destinasi superprioritas, yaitu Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Manado. Kenyataannya, hanya satu, yakni Borobudur, yang boleh dibilang memang telah memiliki rekam jejak mumpuni dan siap dijual. Sisanya saya rasa masih membutuhkan perjuangan yang tidak mudah untuk menyiapkan ekosistem pariwisatanya.
Sumatera Utara, misalnya. Kita mengasumsikan bahwa sebagian besar wisatawan mancanegara akan datang ke Danau Toba. Berdasarkan data BPS Sumatera Utara, provinsi ini hanya mencatatkan angka wisatawan mancanegara sekitar 98 ribu selama Januari-Mei 2019. Ini masih sangat jauh dibandingkan dengan Manado, misalnya, yang pada 2018 sudah mencatatkan ratusan ribu wisatawan mancanegara.
Boleh jadi, salah satu penyebab turunnya tren angka wisatawan mancanegara dua tahun belakangan ini adalah pemerintah menghabiskan energi untuk 10 Bali Baru, yang notabene harus dibangun dari nol. Tapi pemerintah lupa untuk menjaga ritme agresivitas dari destinasi-destinasi lain yang justru sudah mapan.
Dalam hal ini, pemerintah harus tetap melakukan branding, promosi, dan penjualan secara masif untuk destinasi seperti Bali, Jakarta, Bandung, Manado, Bromo Tengger, Batam, dan Kepulauan Riau, yang telah terbukti terserap oleh pasar. Sementara itu, untuk lima destinasi superprioritas, selain berfokus membenahi infrastruktur, amenitas, dan menciptakan destinasi-destinasi baru, langkah yang paling cepat adalah memetakan pasar dan membuka akses internasional sesuai dengan target pasarnya.
Misalnya, untuk Toba, target utamanya adalah Malaysia, Singapura, Vietnam, Cina, Thailand, dan India. Maka, pemerintah harus mengusahakan penambahan penerbangan ke negara tersebut dan membuka segera penerbangan langsung ke negara-negara target pasar yang belum memiliki penerbangan langsung.
Lalu Labuan Bajo dan Mandalika. Di kedua destinasi ini, jalan tercepat adalah meraih pasar wisatawan mancanegara Bali. Pemerintah harus duduk bersama dengan pelaku bisnis perjalanan ke Bali untuk menambahkan paket lanjutan ke Labuan Bajo dan Mandalika. Paket tersebut bisa ditambahkan dari yang sudah ada untuk Bali atau bisa pula disesuaikan dengan pasar alias membuat paket-paket baru yang mengurangi sehari-dua hari di Bali, lalu memindahkannya ke Labuan Bajo atau Mandalika. Selain itu, penerbangan-penerbangan langsung tetap harus diupayakan setelah melakukan pemetaan pasar yang terukur lebih dulu. Misalnya, untuk Labuan Bajo dengan Pulau Komodo. Status warisan dunia Pulau Komodo bisa dieksploitasi dalam
branding dan promosi wisata di tataran internasional.
Hal penting lainnya adalah menentukan lembaga pengelola Destination Management Organisation (DMO) untuk setiap tujuan yang telah ditetapkan di kelima lokasi tersebut. Pemerintah akan gagal mendapatkan tujuan berkelas dunia jika tujuan-tujuan yang sudah ada tersebut tidak ditangani oleh lembaga yang bertanggung jawab khusus terhadap destinasi itu. Perbedaan destinasi yang tidak berpengelola dengan yang berpengelola sangatlah kentara. Lihat saja, Mandalika mulai bergeliat namanya setelah badan usaha milik negara ITDC menjadi DMO kawasan Mandalika dan berhasil melobi para pihak untuk bisa mengadakan acara internasional di sana.
Langkah strategis selanjutnya yang juga tak kalah penting adalah digitalisasi promosi dengan konten-konten masa kini untuk setiap destinasi. Terakhir, pemerintah harus superaktif melakukan koordinasi dan supervisi kepada pemerintah-pemerintah daerah yang terpapar tujuan superprioritas tersebut.