Upaya pemerintah pusat untuk mengambil alih kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah daerah melalui omnibus law perdana, Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, harus ditolak. Tak hanya melawan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, rancangan itu juga bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Pengambilalihan kewenangan itu tercantum dalam Pasal 166 dan Pasal 170 RUU Cipta Kerja yang diserahkan Kementerian Koordinator Perekonomian kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada 12 Februari lalu. Jika sampai lolos di Senayan, omnibus law ini akan memutar balik jarum jam sejarah dan mengembalikan Indonesia ke era sentralisasi kewenangan di tangan presiden seperti pada zaman Orde Baru.
Tengok saja Pasal 166 RUU Cipta Kerja. Pasal itu jelas mengubah prinsip dasar pemerintah daerah yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah Nomor 23 Tahun 2014. Jika omnibus law gol, semua peraturan daerah bisa diubah lewat peraturan presiden saja. Selain bertentangan dengan semangat desentralisasi pasca-gerakan Reformasi 1998, rancangan pasal ini bertolak belakang dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-XIV pada 2016, yang tegas-tegas menyatakan peraturan daerah hanya bisa dicabut oleh Mahkamah Agung.
Pasal 170 lebih ajaib lagi. Pasal itu menegaskan bahwa presiden bisa menerbitkan peraturan pemerintah untuk mengganti atau mengubah undang-undang, baik yang terkena dampak oleh aturan baru ini maupun undang-undang lain yang tidak diubah dalam omnibus law. Dengan kata lain, pasal ini akan memberikan kewenangan legislasi luar biasa kepada presiden, bahkan lebih tinggi dari DPR. Bayangkan: untuk mengubah sebuah undang-undang yang dinilainya keliru, presiden bisa mengambil jalan pintas tanpa perlu repot-repot meminta persetujuan wakil rakyat di Senayan.
Kedua pasal sembrono ini sudah cukup untuk membuat publik waspada akan rencana-rencana berbahaya di balik omnibus law. Berkedok aturan untuk menarik investasi, membuka lapangan kerja, dan menggenjot pertumbuhan ekonomi, RUU Cipta Kerja sejatinya adalah upaya mengubah habis-habisan wajah Indonesia pasca-Reformasi. Jika omnibus law ini melenggang tanpa perlawanan, tak ada lagi desentralisasi kekuasaan sampai ke daerah, tak ada lagi perlindungan lingkungan secara optimal, dan peran DPR akan kembali menjadi tukang stempel kebijakan pemerintah saja.
Belakangan, pemerintah memang mencoba lempar badan dan mengaku pasal-pasal cilaka itu sekadar salah ketik. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly serta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. memastikan pemerintah tak berniat bertindak otoriter dengan merebut kewenangan DPR. Mereka juga memastikan "kesalahan ketik" itu akan dikoreksi bersama anggota Dewan dalam proses pembahasan RUU. Penjelasan semacam itu jelas tak masuk akal dan merendahkan kecerdasan publik. Agar tak makin kedodoran, Presiden Joko Widodo perlu menarik berkas RUU ini dari DPR untuk diperbaiki. Kali ini, ada baiknya pemerintah mengundang semua pemangku kepentingan sedari awal.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 19 Febuari 2020