Pada Senin, 10 Februari, Jaksa Agung Muda Filipina, Jose Calida mengajukan petisi "quo warranto" untuk ABS-CBN, stasiun televisi paling terkenal di Filipina (dengan 72,3 juta pemirsa tiap minggunya dan 47% audience share) yang juga stasiun televisi yang kritis terhadap presiden Filipina Rodrigo Duterte – petisi tersebut ditujukan untuk memaksa mereka berhenti bersiaran.
Pada hari berikutnya, Menteri Luar Negeri Filipina, Teodoro Locsin Jr. menandatangani nota pemutusan Visiting Forces Agreement (VFA) dengan Amerika Serikat.
Banyak yang melihat sosok orang kuat Filipina ini sebagai figur yang ngaco, seperti Trump.
Dia tidak begitu.
Dia itu tenang, mendeterminasi, dan mematikan.
Pada hari Selasa, 11 Februari 2020, Duterte secara resmi mengakhiri Perjanjian Kunjungan Pasukan bilateral (VFA) dengan Amerika Serikat.
Namun, waktu hampir habis untuk Duterte. Filipina akan segera bersiap untuk pemilu Presiden 2022, di mana mantan Walikota Davao ini tidak bisa lagi mencalonkan diri (semenjak kejatuhan Marcos di 1986, Presiden Filipina hanya bisa berkuasa selama satu kali enam tahun masa jabatan).
Pertanyaannya, apakah Presiden Duterte menyia-nyiakan kesempatan yang ia miliki untuk mengubah negaranya? Memang kondisi ekonomi Filipina bagus, dengan 5,9% pertumbuhan GDP pada 2019 menurut World Bank, namun program infrastruktur "Bangun Bangun Bangun" yang menurutnya penting, justru bergerak dengan sangat lambat.
Apakah Duterte menyia-nyiakan mandat elektoral 2016 serta popularitas personalnya (87% menurut jajak pendapat dari Pulse Asia pada Desember 2019)? Apakah dengan pengejaran terhadap musuh pribadinya seperti ABS-CBN, menendang Amerika Serikat, serta berporos pada Tiongkok, justru mengganggu Malacanang?
Investasi dari Tiongkok jumlahnya kecil –tidak sebanding dengan yang ia janjikan pada 2016 yakni investasi sebesar 9 miliar dollar Amerika. Memang penyebaran bisnis game online Tiongkok yang tidak jelas, justru menimbulkan ketidaksukaan dari orang-orang Filipina pada umumnya.
Aktivis dan organisasi media di Filipina telah secara terbuka mengecam serangan terbaru Duterte terhadap ABS-CBN sebagai serangan terhadap kebebasan pers.
Duterte jelas-jelas tidak pernah menyembunyikan obsesinya. Kebencian Duterte terhadap ABS-CBN dan keluarga Lopez yang mengontrol televisi swasta memang terlihat jelas. Begitu juga dengan kebenciannya terhadap Amerika Serikat. Dalam kasus yang disebut belakangan, kebenciannya amat mendalam.
Full Disclosure. Saya terbuka saja: Kolom "Ceritalah" ini bersindikasi dengan ABS-CBN. Saya seringkali hadir di Headstart, acara berita pagi stasiun televisi ini, yang dibawakan oleh kawan baik saya, pembaca berita, Karen Davila, yang kerap meneror tamu-tamunya dengan semangatnya yang berapi-api.
Namun, tetap saja, pengejaran terhadap ABS-CBN, bersaman dengan serangan pemerintahan mantan Walikota Davao terhadap situs berita online rappler.com (yang digawangi oleh mantan pembaca berita CNN, Maria Ressa), serta surat kabar the Phillipine Daily Inquirer ini menggarisbawahi bagaimana abainya Duterte terhadap kebebasan pers serta pentingnya check and balance terhadap kekuasaan eksekutif.
Jaksa Agung Muda Filipina mengklaim bahwa ABS-CBN telah terlibat dalam "praktik yang amat kasar", termasuk dugaan pelanggaran batas kepemilikan asing. Sebagai catatan, perusahaan media di Filipina harus dimiliki lokal 100%.
Tindakan terhadap Amerika Serikat bahkan lebih dramatis, memberi sinyal akhir dari sejarah bersama yang berubah-ubah selama 120 tahun.
VFA memperbolehkan tentara Amerika untuk dirotasi ke dalam latihan militer dan bantuan kemanusiaan Filipina. Kedua negara ini memiliki perjanjian lain, di mana di dalamnya termasuk Perjanjian Pertahanan Bersama 1951, dan Kesepakatan Peningkatan Kerjasama Pertahanan 2014 – namun keduanya tidak berguna tanpa VFA.
Tindakan Duterte membahayakan kepentingan diaspora Filipina yang berjumlah 3,3 juta di Amerika dan menyumbang sekitar 36,8% dari USD28 miliar yang dikirimkan ke tanah air mereka dalam bentuk remitansi tahunan.
Duterte memang benar-benar anti-Amerika. Sebagai Walikota Davao, ia dikabarkan pernah marah akibat insiden 2002 ketika agen Amerika Serikat secara kontroversial membebaskan orang Amerika yang diduga meledakkan alat peledak di sebuah hotel lokal, sebelum pihak berwenang sempat menginterogasi orang tersebut.
Sebagai Presiden, Duterte pernah mengeluarkan pernyataannya yang terkenal, ketika ia "ingin berpisah" dengan Amerika Serikat – mantan penguasa kolonial Filipina – lalu mencari ikatan yang lebih kuat dengan Tiongkok dan Rusia.
Namun, kerja sama pertahanannya dengan Amerika – yang difasilitasi VFA – tetap berlanjut.
Meski demikian, visa Amerika Serikat dari Ronald "Bato" Dela Rosa, seorang politikus, mantan polisi yang menjadi rekan dari Duterte, dibatalkan oleh Amerika Serikat. Konon alasannya karena ia terlibat dalam program "War on Drugs" Duterte.
Duterte – yang sudah kadung panas terhadap kritik Amerika Serikat kepada perang melawan narkoba dan isu lainnya – langsung bereaksi dengan pembatalan VFA, yang akan terjadi dalam 180 hari.
VFA sangat penting, bukan hanya karena ia bersifat sebagai pencegah agresi Tiongkok. Amerika Serikat juga memberikan bantuan latihan serta teknis kepada militer Filipina, termasuk ketika pengepungan Marawi pada 2017.
Duterte mengklaim bahwa dengan membatalkan VFA maka ia akan memperkuat kedaulatan dan kemerdekaan Filipina.
Kongres Filipina telah membahas undang-undang mengenai memperpanjang lisensi ABS-CBN (yang berakhir pada 30 Maret 2020) selama 25 tahun
Namun, ia justru seperti tuli ketika Tiongkok melakukan banyak pelanggaran terhadap batas wilayah negaranya di Laut Tiongkok Selatan atau Laut Filipina Barat.
Memang, desakan Duterte untuk mempererat hubungan dengan Tiongkok sulit dipahami, melihat banyak negara-negara ASEAN lainnya justru sedang mencoba menjauhi ketergantungan ekonomi dan politik mereka terhadap Tiongkok – terutama setelah merebaknya virus Corona.
Dan, seperti kata Menteri Luar Negeri Locsin dalam testimoninya kepada Senat, "Memutuskan VFA akan memiliki dampak negatif terhadap pertahanan dan pengaturan keamanan Filipina". Ia juga mencatat bahwa Amerika Serikat adalah partner dagang terbesar ketiga Filipina (bernilai sekitar 8,7 miliar dollar Amerika), pasar ekspor terbesar, sumber investasi terbesar kelima (12,9 miliar Peso), dan sumber turisme terbesar ketiga (1 juta kedatangan pada 2018).
Terlebih, tindakan Duterte mengancam kepentingan 3,3 juta diaspora Filipina di Amerika Serikat, yang berkontribusi sebesar 36,8% pengiriman uang Filipina – sumber terbesar di negara itu. Lalu bagaimana dengan 1,2 juta orang Filipina yang bekerja di Proses Bisnis Outsourcing – di mana kebanyakan dari mereka dipekerjakan oleh perusahaan asal Amerika?
Presiden Filipina hanya memiliki satu kesempatan. Duterte bisa saja telah melewatkannya.**