Esther Sri Astuti
Direktur Program INDEF dan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro
Wabah virus corona di Cina telah menelan korban seribu lebih orang meninggal. Beberapa negara juga terdeteksi terkena virus itu, seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Jepang, Korea Selatan, Sri Lanka, Filipina, Australia, dan negara-negara kawasan Eropa. Pemerintah Indonesia pun melarang impor komoditas pertanian dari Cina sebagai dampak penyebaran virus tersebut. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, pada 2018, nilai impor dari Cina sebesar US$ 45,53 miliar dengan impor komoditas pertanian berupa sayuran dan buah-buahan senilai US$ 1,27 miliar, tembakau US$ 0,17 miliar, dan beras USS 1,09 juta.
Ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan pangan dari negara lain merepresentasikan belum adanya swasembada pangan di negeri ini. Data Badan Pusat Statistik (2018) menunjukkan Indonesia selalu mengimpor barang konsumsi berupa makanan dan minuman untuk rumah tangga senilai US$ 6,5 miliar, yang sebagian besar berupa sayuran, buah-buahan, susu dan produk susu, telur, serealia dan produk turunannya, daging, camilan, makanan bayi, serta minuman.
Belum lagi impor beras yang rata-rata 1 juta ton per tahun selama 1993-2018. Bahkan, pada 2018, impor beras mencapai 2,25 juta ton dengan nilai sebesar US$ 1,03 miliar. Angka impor beras meningkat drastis dibanding pada 2017 yang sebesar 0,29 juta ton dan pada 2016 sebesar 1,28 juta ton. Padahal data Statista (2019) menunjukkan Indonesia merupakan negara agraris dan salah satu negara produsen beras terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan India. Produksi beras Indonesia berkisar 37 juta ton, Cina 148,87 juta ton, dan India 112,91 juta ton. Produksi beras Indonesia lebih besar dibanding Bangladesh (32,65 juta ton), Vietnam (28,47 juta ton), dan Thailand (20,37 juta ton).
Bagaimana kita terus meningkatkan produksi komoditas pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia? Menurut studi Gultom dan Astuti (2019), ada sejumlah permasalahan utama di sini.
Pertama, luas lahan yang sempit menjadi salah satu penyebab rendahnya pendapatan petani. Rata-rata luas lahan petani sebesar 0,2 hektare, yang mengakibatkan petani sulit meningkatkan skala usaha taninya dan padi tidak bisa dijual langsung ke pabrik beras. Rata-rata produksi petani beras hanya berkisar 5 ton, sedangkan pabrik beras hanya bisa membeli dalam skala besar minimal sekitar 20 ton.
Kedua, rendahnya penghasilan petani menyebabkan terbatasnya modal petani sehingga petani terpaksa melakukan transaksi utang-piutang dengan sistem ijon. Petani biasanya meminjam sejumlah uang kepada tengkulak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagai gantinya, petani akan menjual padinya kepada tengkulak tersebut pada saat panen.
Ketiga, lemahnya akses petani beras terhadap pasar adalah salah satu permasalahan utama pertanian di Indonesia. Hal ini menyebabkan petani terus terikat dengan institusi-institusi di desa yang tidak efisien, seperti tengkulak dan pengepul, yang sering kali membeli produk petani dengan harga yang rendah, yang selanjutnya akan menghalangi petani dalam meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha taninya.
Keempat, kurangnya sarana dan prasarana produksi pertanian, seperti pupuk, pestisida pembasmi hama, dan alat-alat pertanian (seperti traktor, cangkul). Kelangkaan ini disebabkan oleh distribusi yang kurang baik dan tidak tepat sasaran sehingga mengakibatkan biaya produksi beras pun lebih tinggi.
Kelima, fluktuasi harga beras sebagai akibat faktor musiman. Misalnya, pada saat panen, harga beras cenderung lebih murah dibanding saat musim paceklik atau saat gagal panen, ketika biasanya ada lonjakan harga karena pasokan terbatas. Keenam, kurangnya kemampuan teknis untuk melakukan budidaya padi sehingga produktivitas petani rendah.
Perlu kebijakan yang komprehensif guna mewujudkan swasembada pangan di Indonesia. Salah satu cara untuk meningkatkan jumlah produksi beras adalah melalui mekanisasi sebagaimana yang telah dilakukan di Cina dan India (PWC, 2018). Data PriceWaterhouseCoopers (2018) memperlihatkan tingkat mekanisasi di Cina sebesar 8 horsepower per hektare (hp/ha) dan India sebesar 2,6 hp/ ha.
Melalui proses mekanisasi tersebut, baik Cina maupun India berhasil meningkatkan kapasitas panennya, meningkatkan produktivitas tenaga kerja, mengurangi kerugian pascapanen, meningkatkan pendapatan petani, dan mengurangi impor beras ke negaranya. Proses mekanisasi dimulai dengan menyediakan mesin-mesin pertanian yang penjualannya disubsidi, hingga pengadaan pusat sewa mesin-mesin pertanian sehingga petani yang tidak mampu membeli juga bisa menyewa alat tersebut.
Pemerintah juga diharapkan mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif agar investor tertarik menanamkan modal pada usaha-usaha yang terkait dengan rantai nilai pertanian (agricultural value chain). Pemerintah juga perlu meningkatkan infrastruktur perdesaan dan jumlah penyuluh pertanian lapangan sehingga produksi beras meningkat, baik dalam kuantitas maupun kualitasnya.
Akhir kata, semangat menciptakan swasembada pangan harus didukung oleh langkah konkret dan program yang efektif untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan pangan.