PEMERINTAH tak perlu tergesa-gesa menerima kembali warga negara Indonesia di Timur Tengah, termasuk anak-anak mereka, yang menjadi simpatisan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS). Pemerintah mesti selektif dalam memutuskan siapa saja yang boleh kembali, sembari menyiapkan program deradikalisasi khusus.
Setidaknya dapat digunakan dua filter. Pertama, pengadilan internasional. Sebagai kelompok teror, ISIS terlibat berbagai serangan teror dan perang. Sebagai non-state actors dalam hukum internasional, rezim hukum internasional berlaku bagi ISIS. Mereka yang terbukti melanggar hukum dan terlibat dalam kejahatan hak asasi manusia jangan diizinkan kembali.
Adapun yang non-kombatan, seperti anak-anak dan perempuan, biarlah sementara ditangani dulu oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, sembari pemerintah menyiapkan mekanisme filter kedua untuk memilah mana anggota keluarga yang ikut aktif menjadi kombatan dan mana yang tidak. Perlu dipertimbangkan bahwa keberangkatan mereka ke Suriah tidak semuanya bermotif perang dan rencana mendirikan khilafah. Ada juga yang pergi karena iming-iming ekonomi.
Pemerintah sudah menyatakan tidak akan memulangkan 689 warga Indonesia eks ISIS, tapi akan mempertimbangkan untuk menerima kembali anak-anak warga Indonesia di bawah umur 10 tahun. Untuk mereka, akan disiapkan program kontraradikalisasi, yang berbeda dengan program deradikalisasi bagi orang dewasa. Anak-anak diikutkan dalam program kontraradikalisasi karena dianggap belum terpapar radikalisme.
PBB menegaskan bahwa negara berkewajiban melindungi anak-anak, termasuk dari keadaan tak punya kewarganegaraan. Jangan sampai negara melanggar prinsip dasar tersebut. Menurut data UNICEF, badan PBB yang mengurusi anak-anak, di Suriah saja ada hampir 29 ribu anak-anak asing berusia di bawah 12 tahun. Di antara jumlah tersebut, sekitar 20 ribu berasal dari Irak dan sisanya dari sekitar 60 negara lain.
Anak-anak ini semestinya diperlakukan terutama sebagai korban, bukan pelaku. Setiap keputusan tentang mereka, termasuk pemulangan, sedapat mungkin mematuhi standar hukum internasional. Anak-anak yang dibawa orang tuanya untuk berperang buat ISIS di Suriah adalah korban ideologi yang salah dan sesat dari orang tuanya. Kalau tidak dibina, mereka malah bisa menjadi lebih berbahaya.
Jika dibiarkan telantar di Suriah, anak-anak itu berpotensi menjadi generasi kedua mujahid ISIS. Mereka bisa dengan mudah dipengaruhi dan berkolaborasi dengan anak-anak teroris dari negara lain di kamp-kamp Suriah untuk melakukan aksi terorisme di masa depan. Mereka bahkan bisa bergabung dengan tokoh-tokoh teroris internasional.
Tentu saja pemerintah mesti tegas untuk menjaga keamanan nasional, tapi jangan sampai mengabaikan tanggung jawab negara terhadap anak-anak yang telantar di Suriah. Segera saja susun kriteria dan mekanisme untuk menyeleksi anak-anak dan anggota keluarga simpatisan ISIS non-kombatan. Mereka berhak mendapat kesempatan untuk kembali hidup normal dan memiliki masa depan yang baik.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 14 Febuari 2020