Penolakan sekelompok orang terhadap pembangunan Gereja Katolik Paroki Santo Joseph Tanjung Balai Karimun, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, merupakan pelanggaran serius atas hak untuk beribadah yang dijamin konstitusi. Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas menyatakan negara wajib menjamin kemerdekaan setiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya.
Setiap warga negara semestinya bebas melaksanakan ibadahnya tanpa rasa takut. Tidak ada alasan apa pun yang membenarkan penolakan terhadap pembangunan Gereja Karimun, yang telah mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB) sejak Oktober tahun lalu. Umat Katolik di wilayah itu berhak mendapatkan rumah ibadah baru. Mereka membutuhkan bangunan gereja baru karena bangunan lama, yang berdiri sejak 1928, sudah tidak mampu menampung jumlah jemaat. Gereja lama hanya mampu menampung 100 orang, sementara umat Katolik yang terdaftar di wilayah itu mencapai 700 orang.
Pekan lalu, puluhan orang yang mengatasnamakan Forum Umat Islam Bersatu menggeruduk Gereja Karimun. Mereka memprotes aktivitas pembongkaran di gereja itu, sementara gugatan atas IMB-nya masih berlangsung di Pengadilan Tata Usaha Negara Tanjungpinang. Dalam aksi protes itu, tuntutan massa melebar ke penolakan terhadap pembangunan gereja. Massa datang dengan spanduk yang antara lain berisi tuntutan agar rumah ibadah itu direlokasi dan gereja lama dijadikan bangunan cagar budaya.
Tak sepatutnya pemerintah setempat tunduk kepada keinginan kelompok intoleran, yang dengan seenaknya mengambil alih fungsi penegak hukum. Aparat tidak boleh berkompromi dengan kelompok-kelompok yang tidak toleran seperti itu. Menyerah kepada kelompok intoleran, pada akhirnya, hanya akan menyuburkan semangat kelompok serupa untuk memaksakan kehendaknya. Mereka akan semakin berani melancarkan aksinya ketika tahu penegak hukum melempem.
Aksi-aksi intoleran tumbuh subur di negeri ini karena ada aturan hukum atau kebijakan yang bertentangan satu sama lain. Konstitusi jelas menjamin hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tapi di sisi lain masih ada aturan dan kebijakan yang dapat mengancam kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dipertahankan, di antaranya Surat Keputusan Bersama 3 Menteri Tahun 2008 tentang Ahmadiyah dan Peraturan Bersama 2 Menteri Tahun 2006 tentang Rumah Ibadah. Banyak pula peraturan daerah yang membatasi kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Aksi intoleran juga terus berulang karena pemerintah tidak bertindak tegas setiap kali ada pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi sebelumnya. Pemerintah memiliki sederet rapor buruk dalam menangani konflik akibat perbedaan agama dan kepercayaan serta penindasan terhadap kelompok minoritas. Pembekuan izin Gereja Yasmin di Bogor, Jawa Barat; pembakaran gereja di Klaten dan Tegal, Jawa Tengah; diskriminasi terhadap jemaah Ahmadiyah; serta penurunan patung Buddha Amithaba di Vihara Tri Ratna di Tanjung Balai, Sumatera Utara, merupakan sebagian kecil dari potret buram pengabaian hak asasi tersebut.
Jika pemerintah tetap abai terhadap tindakan yang tidak menghargai keberagaman tersebut, kasus serupa akan terus mengganggu kebebasan beribadah di negeri ini.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 13 Febuari 2020