Bagong Suyanto
Guru besar FISIP Universitas Airlangga, peneliti radikalisme dan deradikalisasi
Hingga kini belum ada keputusan resmi pemerintah terhadap wacana untuk memulangkan sekitar 660 bekas anggota Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Wacana itu pertama kali dilontarkan oleh Menteri Agama Fachrul Razi, meski kemudian diralat dengan mengatakan masih dalam pengkajian. Tapi isu sensitif tersebut sudah keburu memantik polemik di masyarakat.
Sebagian pihak setuju dan menganggap pemerintah bertugas melindungi warga negaranya yang kini tanpa kewarganegaraan dan tinggal di kamp-kamp pengungsian di Irak. Di pihak lain, tidak sedikit masyarakat yang menolak rencana pemulangan bekas tentara dan simpatisan ISIS.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia Mahfud Md. dan Presiden Joko Widodo menyatakan tidak setuju jika bekas anggota ISIS dipulangkan. Pemerintah wajar berhati-hati dalam menyikapi polemik ini karena manfaat dan dampak merugikan yang timbul benar-benar harus ditimbang dengan matang.
Kalau berbicara tentang hukum dan konstitusi, memang negara berkewajiban melindungi setiap warganya, tak terkecuali mereka yang berada di luar negeri. Namun, ketika ada warga negara Indonesia yang dengan sadar membakar paspor Indonesia dan menyatakan memilih menjadi warga negara ISIS, kewajiban negara untuk melindungi mereka otomatis gugur. Orang-orang dewasa yang tanpa izin menjadi pasukan negara lain, bahkan menyatakan Indonesia sebagai thogut atau setan sembahan manusia, tentu telah menyadari konsekuensi politik yang mereka tanggung.
Namun lain soal ketika di antara ratusan bekas simpatisan ISIS itu ternyata terdapat kaum perempuan, ibu-ibu, dan anak-anak yang tidak tahu apa-apa saat lahir dalam situasi yang bermasalah di Suriah atau di kamp penampungan. Setelah ISIS digempur habis-habisan dan wilayah kekuasaan mereka di Suriah hancur, sebagian ibu dan anak-anak ini dilaporkan hidup telantar di kamp-kamp pengungsian di Timur Tengah.
Dari sisi kemanusiaan, tentu tidak elok jika pemerintah bersikap hitam-putih seperti menyikapi orang-orang dewasa yang dengan sengaja memilih ideologi yang diyakininya dan kemudian berperang membela negara lain. Menafikan keberadaan anak-anak yang tidak berdosa di kamp-kamp pengungsian itu bukan tidak mungkin akan berisiko negatif terhadap nama baik Indonesia di mata internasional. Namun memilih memulangkan bekas anggota ISIS tanpa persiapan dan exit strategy yang tepat sama saja dengan membuka pintu lebar-lebar bagi para teroris untuk menebar teror di negeri ini. Dengan program deradikalisasi yang tepat dan efektif, sebagian dari eks anggota ISIS mungkin masih bisa kembali menjadi warga negara yang baik. Namun tentu hal ini bukan soal yang mudah.
Banyak kajian telah membuktikan bahwa pengaruh radikalisme sangat terasa mendorong meningkatnya konservatisme dan intoleransi keagamaan (Van Bruinessen, 2013; Menchik, 2016; Lindsey dan Pausacker, 2016). Kita tentu tidak menutup mata bahwa pengaruh paham radikalisme di Indonesia sat ini tidak hanya menyusup di masjid, perguruan tinggi, dan birokrasi pemerintah, tapi juga ke berbagai sekolah menengah dan kampus (Turmudi, 2004; Qodir, 2014; PPIM UIN Jakarta, 2018).
Menghadapi radikalisme di Tanah Air saja kita masih sering kecolongan dan keteteran, lantas apa yang terjadi jika masih ditambah lagi dengan kehadiran teroris dari luar yang merupakan simpatisan dan bekas anggota ISIS? Secara konseptual, untuk memastikan agar eks anggota ISIS dapat didekonstruksi dan direkonstruksi kembali adalah melalui program deradikalisasi yang benar-benar efektif.
John Horgan (2011) mengkritik pemahaman deradikalisasi yang dianggapnya gagal membedakan antara dimensi kognitif dan perilaku deradikalisasi. Ada kecenderungan kita menyederhanakan masalah karena mencampuradukkan pengertian keduanya sehingga deradikalisasi hanya dipahami sebagai upaya untuk mengajak kelompok-kelompok radikal meninggalkan cara kekerasan. Dalam pandangan Horgan, hal ini bukan deradikalisasi, melainkan disengagement, karena hanya berkaitan dengan perubahan perilaku.
Berbeda dengan deradikalisasi, disengagement tidak menuntut perubahan ide atau pandangan, tapi hanya penolakan menggunakan kekerasan. Padahal, untuk memastikan bekas anggota ISIS yang dipulangkan tidak menimbulkan masalah baru, yang penting adalah bagaimana di tingkat kognitif atau keyakinan mereka benar-benar telah berubah.
Beberapa mantan anggota ISIS yang diwawancarai media massa memang menyatakan telah menyadari kekeliruannya dan sadar bahwa kehidupan ideal yang mereka yakini sebelumnya ternyata keliru. Mereka adalah korban bujuk rayu dari iklan-iklan yang ditebar ISIS dan kelompok garis keras lain yang selama ini memanfaatkan Internet untuk merekrut simpatisan-simpatisan dari berbagai penjuru dunia. Kita tahu bahwa target radikalisasi adalah anak-anak muda, yang memang rentan terhadap ajakan bergabung dengan kelompok ekstrem.
Sepanjang pemerintah belum memiliki formula yang bisa diandalkan untuk melakukan budaya tandingan dan mengembangkan program deradikalisasi yang efektif, ada baiknya keputusan untuk memulangkan bekas anggota ISIS ditunda. Ini harus diakui bukan keputusan yang mudah.