Polemik seputar rencana pembangunan jaringan light rail transit (LRT) rute Pulogadung-Kebayoran Lama merupakan contoh buruk koordinasi antara pemerintah daerah dan pusat. Jalur kereta ringan sepanjang 19,8 kilometer itu berpotensi mubazir karena berimpitan dengan rencana pembangunan jalur mass rapid transit (MRT) koridor timur-barat.
Rancangan kedua jaringan transportasi massal berbasis rel itu bermasalah karena sama-sama bakal melintasi Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Letnan Jenderal Suprapto, Tugu Tani, Jalan Kebon Sirih, dan Jalan K.S. Tubun. Jalur keduanya baru berpisah di Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Lebih dulu direncanakan, jalur MRT koridor timur-barat telah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration bahkan sudah mengkaji kelayakan koridor MRT dari Cikarang, Jawa Barat, hingga Balaraja, Banten, itu sejak 2013.
Tumpang-tindih rencana kedua moda transportasi massal itu berpotensi menghambur-hamburkan uang rakyat. Pemerintah DKI Jakarta menganggarkan dana Rp 12 triliun untuk membangun LRT rute Pulogadung–Kebayoran Lama. Sedangkan proyek MRT koridor timur-barat sepanjang 87 kilometer membutuhkan anggaran sekitar Rp 53 triliun. Ketimbang dipakai untuk membangun dua moda transportasi massal di jalur yang sama, sebagian anggarannya lebih baik dialihkan untuk pembangunan jaringan transportasi umum di kawasan berbeda.
Pertentangan pendapat terbuka antar pejabat seharusnya tidak terjadi jika pemerintah pusat dan pemerintah DKI sejak jauh hari duduk bersama untuk membahas proyek MRT dan LRT di Ibu Kota. Sama-sama berkepentingan dengan pengembangan transportasi Jakarta, pemerintah pusat dan DKI seharusnya berkoordinasi sejak tahap pengkajian kelayakan kedua proyek tersebut.
Kita semua mafhum, semangat membangun moda transportasi massal di Jakarta dan sekitarnya adalah demi mengurangi kemacetan di jalan raya. Hal itu memang merupakan kebutuhan yang mendesak. Indeks lalu lintas TomTom, perusahaan teknologi transportasi yang berbasis di Amsterdam, Belanda, mencatat Jakarta sebagai kota nomor 10 termacet di dunia pada 2019. Artinya, Jakarta dan kota penyangganya membutuhkan moda transportasi publik yang baik agar orang berpindah dari kebiasaan menggunakan kendaraan pribadi yang menjadi biang kemacetan selama ini.
Meski begitu, pembangunan setiap sarana transportasi publik memerlukan perencanaan dan kajian yang matang. Kebutuhan masyarakat terhadap jaringan transportasi baru harus menjadi pertimbangan utama. Perencanaan jalur LRT rute Pulogadung-Kebayoran Lama harus dibuat berdasarkan hasil evaluasi LRT rute Velodrome-Kelapa Gading yang baru beroperasi pada 1 Desember 2019. Hingga dua bulan berjalan, jumlah penumpang LRT di rute itu masih belum signifikan.
Yang tak boleh dilupakan, pembangunan semua jaringan angkutan publik di Ibu Kota harus terintegrasi satu sama lain. Jaringan LRT mesti terpadu dengan jaringan MRT, bus rapid transit (Transjakarta), dan kereta komuter Jabodetabek. Integrasi transportasi hanya akan terwujud bila pemerintah pusat dan DKI saling mendukung-bukan saling bersaing-sejak perencanaan, pembangunan, hingga pengelolaan transportasi publik di Ibu Kota.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 06 Febuari 2020