Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Godse

image-profil

Oleh

image-gnews
Iklan

Tiga butir peluru pistol ditembakkan ke tubuh Gandhi yang kurus keriput, dari jarak dekat. Sang pembunuh mencoba mengubah sejarah India. Ia gagal—setidaknya saat itu. Sebab kini kita ragu, benarkah kebencian terpendam lama itu bisa berubah.

Gandhi wafat, menjelang pukul 6 sore, 30 Januari 1948, setelah diangkut dari anak tangga teratas halaman belakang Birla House, New Delhi, tempat ia tergeletak berlumuran darah. Sore itu sang “Mahatma”, demikian ia digelari pengikutnya, sedang hendak mengadakan upacara doa bersama dengan para penganut agama lain—sebuah isyarat perdamaian. Tapi justru karena itu Godse membunuhnya.

Ramachandra Vinayak Godse tak sendirian; ia berhasil menunaikan tugasnya dengan bantuan delapan orang. Sejak 1934 ada enam kali Gandhi dicoba dilenyapkan, tapi baru hari itu berhasil.

Bagi mereka ini, perdamaian adalah sesuatu yang tak adil. Godse menganggap Gandhi terlalu berpihak pada golongan Islam, terutama ketika India dipecah dua, sebagian jadi Negara Pakistan.

Godse, yang lazim disebut Nathuram, segera diringkus di tempat kejahatan itu. Ia dan seorang temannya kemudian diadili dan dihukum gantung di penjara Ambala. Dua putra Gandhi meminta pemerintah tak melakukan itu—bagi mereka, dendam dan hukum gantung tak sesuai dengan ajaran Gandhi. Tapi Perdana Menteri Nehru menolak.

Baca Juga:

Bagi Nehru, juga bagi Gandhi, India yang merdeka harus bisa merangkum semua umat, tak mengistimewakan mayoritas yang Hindu. Bagi para pendiri India itu, begitulah seharusnya India yang damai dan adil dan tak tergoyahkan. Demokrasi yang hendak mereka bangun memberi tempat kepada siapa saja—tak peduli agamanya.

Tapi demokrasi adalah sistem yang pelik. Waktu itu India belum lagi cukup umur, dengan sejarah perbedaan dan benturan yang tajam dalam hal iman, kelas, dan kasta. Meski demikian, negeri baru itu berniat terbuka untuk siapa saja.

Juga buat orang semacam Godse dan kaumnya, yang menentang niat itu. Orang-orang ini menganggap, justru karena orang Hindu mayoritas, juga pribumi, mereka berhak memiliki supremasi dan menentukan dasar dan arah India. Mereka menampik India yang dibentuk orang seperti Gandhi dan Nehru.

“Saya menegaskan,” kata Godse dalam pengadilan, “tembakan saya terarah kepada orang yang kebijakan dan tindakannya telah merusak dan menghancurkan jutaan orang Hindu.” Ia mewakili amarah RSS, “organisasi patriot nasional”, yang berdiri sejak 1925, dua puluh tahun sebelum India merdeka dari kolonialisme Inggris.

Perasaan terpojok, dirusak, dan dihancurkan dalam sebuah demokrasi memang berlebihan bagi mereka yang secara demografis dominan. Tapi perasaan itu nyata, campuran rasa waswas, iri, dan paranoia yang menahun, yang kemudian membangkitkan gerakan yang disebut “populis” hari-hari ini—sebuah ekspresi perlawanan.

Populisme bukan ideologi semacam sosialisme. Sosialisme, khususnya yang diperkenalkan Marx, punya klaim “ilmiah”. Ketidakadilan yang ditentangnya adalah ketidakadilan yang dianalisis dengan data empiris. Tak selalu akurat, tapi selalu punya kemungkinan diverifikasi. Berbeda populisme: ia juga melawan mereka yang mapan, ia juga bersuara untuk “rakyat”; tapi dalam populisme “rakyat” tak ditentukan posisi kelas sosialnya. Mereka bukan “buruh” yang tak punya alat produksi atau “petani” dan “pemilik warung” yang alat produksinya minimal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Rakyat, dalam populisme, adalah semacam makhluk mithologis. Ia disebut sebagai kubu yang niscaya benar. Ia seakan-akan sebuah kelompok dasar yang bersih murni dalam konflik dengan mereka “yang-bukan-kita”. Adapun “yang-bukan-kita” bisa siapa saja—yang “elite” atau yang “asing”—kategori yang dibangun dengan lambang, imaji,

gerak tubuh, retorika. Politik populis seperti teater: sebuah per­formance.

Ketika berbaur dengan agama, populisme pun menajam. Kita, kata penggeraknya, adalah rakyat yang “sakral”, sedangkan mereka, yang bukan-kita, tidak. Batasnya mutlak. Agama memberi populisme bahasa, dalil, janji, dan ancaman yang konon tak akan lapuk oleh zaman. Dalam semangat populis, agama jadi unsur penting identitas. Dan ia tak mudah mati.

Sekian dasawarsa setelah Godse digantung, RSS tumbuh. Di tahun 2014 anggotanya sampai 6 juta orang. Di tahun 2017 Partai Hindu Mahasabha mencoba menyatakan hormat dengan menyiapkan sebuah monumen buat Godse sebagai seorang patriot. Partai Bharatiya Janata yang berkuasa, yang dipimpin Perdana Menteri Modi, ingin cari jalan tengah: meneruskan penghormatan kepada Gandhi sebagai orang yang Mahatma dan juga kepada pembunuhnya. Tak aneh: Modi, pernah jadi simpatisan RSS, dan Bharatiya Janata berdiri dengan semangat Hindutva: bagi mereka India adalah untuk umat Hindu, dan umat Islam bukan bagian yang sah dari kebangsaan.

Politik mereka adalah politik agregat. Hindu dan Islam masing-masing diperlakukan sebagai himpunan yang utuh. Identitas bagi mereka kekal. Agama mengukuhkannya—juga akhirnya mengukuhkan pembunuhan yang “bukan-kita”. Setelah Godse, kekerasan tak berhenti.

Saya tak bisa melupakan yang dikisahkan Suketu Mehta dalam ­Maximum City. Dalam buku jurnalistik yang memukau ini Mehta merekam percakapannya dengan orang-orang partai nasionalis Hindu, Shiv Sena, di tahun 1996. Tentang bagaimana mereka membunuh muslim, salah seorang dari mereka bercerita:

…kami berbaris ke wilayah muslim. Kami ketemu seorang paywallah di jalan besar, naik sepeda. Aku mengenalnya; aku dulu membeli roti dari dia tiap hari.... Aku bakar dia. Kami siramkan minyak tanah ke tubuhnya dan kami bakar dia. Yang aku pikirkan hanya, ini seorang muslim. Ia gemetar. Ia berteriak, “Aku punya anak, aku punya anak!” Dan aku menjawab, “Ketika kamu, orang muslim, membunuhi orang di Radhabai Chawl, kamu ingat anak kamu?” Hari itu kami tunjukkan apa arti dharma bagi orang Hindu....

Tentu saja si muslim tak tahu-menahu pembunuhan yang dilakukan muslim lain di Radhabai Chawl. Tapi politik identitas tak berurusan dengan manusia—dengan makhluk yang tak henti-hentinya berbeda, berubah, tak mudah dirumuskan. Gandhi mengenal manusia seperti itu, dan karena ia benar, ia merisaukan.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

1 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


24 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

30 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.