Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic & Educational Business Institute, Jakarta; dan Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
Hasil rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) pada 22-23 Januari 2020 memutuskan untuk kembali mempertahankan suku bunga acuan, 7-Day Reverse Repo Rate, pada level 5 persen. Posisi itu sudah berjalan empat bulan sejak pemangkasan terakhir pada Oktober tahun lalu.
Aspek teknis tampaknya lebih dominan dalam mewarnai keputusan BI. Dari indikator internal, inflasi berada dalam kendali di rentang sasaran 3,5 persen plus-minus 1 persen. Inflasi tahunan 2019, misalnya, tercatat hanya 2,72 persen, pertama kali di bawah 3 persen sejak 2012.
Dari indikator eksternal, nilai tukar rupiah dalam tren penguatan. Sampai akhir tahun lalu, nilai tukar rupiah terapresiasi 2,68 persen secara tahunan. Ditopang oleh aliran dolar yang masuk, kinerja nilai tukar rupiah menjadi mata uang terbaik kedua di Asia setelah baht Thailand.
Faktor pendukung lainnya, suku bunga acuan Amerika Serikat, Eropa, dan negara emerging market lainnya berada dalam posisi status quo. Cadangan internasional juga cukup tebal untuk menopang stabilitas eksternal. Maka, tidak ada kegentingan yang memaksa BI untuk segera memangkas suku bunga acuan.
Namun, andai kata BI menghitung aspek non-teknis, ceritanya bisa berbeda. Perubahan posisi suku bunga acuan di awal tahun senantiasa menjadi perhatian. Bagi pelaku pasar, posisi suku bunga acuan dipandang sebagai sikap BI terhadap kebijakan moneter sepanjang tahun.
Apalagi BI sudah mengirim sinyal akan menerapkan bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran yang akomodatif sepanjang 2020. Dengan spirit "growth over stability", BI hendak mengejar fungsi akselerasi pertumbuhan ekonomi tanpa mengesampingkan fungsi stabilisasi.
Fungsi akselerasi tersimak dari target pertumbuhan kredit perbankan nasional yang berada pada kisaran 10-12 persen dan penghimpunan dana pihak ketiga sebesar 6-8 persen. Dalam pandangan BI, target di atas cukup untuk menyokong pertumbuhan ekonomi 5,1-5,5 persen.
Bulan Januari seharusnya bisa menjadi momentum untuk mulai merealisasi kebijakan akomodatif tersebut. Setelah pada 2018 BI agresif melejitkan suku bunga acuan hingga 175 basis point, tahun lalu BI memasang strategi berkebalikan. Akumulasi pemotongan suku bunga acuan sepanjang 2019 mencapai 100 basis point.
Artinya, BI seolah-olah masih punya "utang" pemotongan suku bunga acuan sebesar 75 basis point untuk mengembalikannya ke posisi awal. Fungsi akselerasi pertumbuhan ekonomi diyakini bisa terlaksana apabila BI memangkas suku bunga acuannya atau melonggarkan lagi kebijakan makroprudensial guna menciptakan "efek Januari".
Hilangnya momentum "efek Januari" membuat kebijakan BI bisa kehilangan "greget" tatkala tanda-tanda ke arah terwujudnya optimisme kian redup. Konsekuensinya, BI harus menebusnya dengan cara lain untuk membangun confidence.
Apakah BI mampu menyelaraskan antara optimisme dan fakta? Guna mensinkronkan keduanya, BI harus berfokus pada pengawalan agar racikan kebijakan moneter dan makroprudensial tetap berada di jalur yang benar. Efektivitasnya menjadi persoalan tersendiri tatkala dihadapkan pada respons pasar yang berbeda.
Dari sisi global, risiko dari perlambatan ekonomi global dan gejolak geopolitik di sejumlah kawasan masih akan mewarnai 2020. Dari sisi moneter, BI dihadapkan pada potensi inflasi terkait dengan kenaikan harga yang diatur pemerintah. Kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional, cukai tembakau, dan tarif beberapa ruas jalan tol berpotensi mendongkrak inflasi keluar dari target.
Dari sisi domestik, jeda waktu efek pemangkasan suku bunga acuan 100 basis point sepanjang tahun lalu akan bekerja pada tahun ini. Suku bunga kredit perbankan, misalnya, hanya menyusut 30 basis point, jauh di bawah pemotongan suku bunga acuan. Walhasil, aliran kredit sangat boleh jadi masih seret.
Pemangkasan suku bunga acuan niscaya akan diikuti pemangkasan suku bunga simpanan. Perubahan suku bunga simpanan jauh lebih responsif daripada suku bunga kredit perbankan. Kondisi ini dengan sendirinya akan menyurutkan minat nasabah untuk menyimpan dananya di perbankan.
Penurunan dana pihak ketiga kemungkinan besar tidak bisa dikompensasi oleh pemangkasan giro wajib minimum. Ketatnya likuiditas ini akan berefek pada kemampuan likuiditas perbankan. Tapi, apakah relaksasi uang muka kredit terimbangi kemampuan perbankan dalam penyalurannya? Selain itu, korporasi Indonesia lebih banyak menggunakan sumber pembiayaan luar (off shore) alih-alih pasar keuangan dalam negeri yang menuntut imbal hasil yang lebih tinggi.
Peringatan ini bukan mengada-ada. Perspektif teoretis dan praktik terbaik secara internasional menunjukkan kebijakan makroprudensial akan manjur tatkala kebijakan moneter tidak berubah dan sebaliknya (Rubio dan Yao, 2017). Intinya, ada imbal korban antara likuiditas, suku bunga, dan pertumbuhan.
Dengan skema permasalahan di atas, kebijakan akomodatif BI tampaknya hanya masalah pemilihan waktu. BI sepertinya menunggu omnibus law Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja, yang akan terbit tahun ini. Kebijakan fiskal yang kontra-siklikal ini, tatkala bersinergi dengan kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran, akan mujarab melawan pelemahan conjuncture ekonomi domestik.