Fachruddin M. Mangunjaya
Chairman Center for Islamic Studies Universitas Nasional dan Interfaith Rainforest Initiative Advisory Council Indonesia
Pada 30-31 Januari 2020 akan diselenggarakan pertemuan penting para pemuka agama dan tokoh masyarakat adat dalam Prakarsa Lintas Agama untuk Hutan Tropis Indonesia. Inisiatif ini merupakan bagian dari gerakan Interfaith Rainforest Initiative yang diluncurkan pada 2017 di Oslo, Norwegia, yang juga melibatkan negara pemilik hutan di belahan lain, seperti Brasil dan Kongo.
Telah lama disadari bahwa krisis lingkungan, termasuk melajunya kehilangan hutan dalam beberapa dekade terakhir, disebabkan oleh krisis moral. Akibat krisis tersebut, ditambah tidak mampunya negara menahan emisi gas-gas rumah kaca yang terus menebalkan atmosfer serta diperparah oleh kerusakan dan kebakaran hutan, pemanasan global semakin menjadi-jadi.
Perubahan iklim telah menjadi sebuah realitas yang tidak lagi dibantah. Suhu bumi, menurut Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), sekarang telah naik satu derajat dibandingkan dengan masa pra-industri.
Baru saja kita menyaksikan Benua Australia yang terbakar karena suhu yang sangat panas. Suhu musim panas di Australia bergerak hingga mencapai 40 derajat Celsius. Sebanyak 7,3 juta hektare hutan terbakar dan satu miliar satwa turut punah. Ribuan kepala keluarga harus menangis, meratapi rumah yang indah dikelilingi hutannya kini turut musnah bersama terbakarnya semak dan hutan. Kejadian ini merupakan yang pertama dalam sejarah peradaban manusia.
Kini, manusia kembali menyadari betapa hampa dan tidak berdayanya teknologi, kekuatan ekonomi, dan kedigdayaan sebuah bangsa tanpa spiritualitas dan agama.
Intensitas bangsa-bangsa yang telah berupaya memenuhi segala aspek untuk menahan laju perubahan iklim, seperti merumuskan pendekatan saintifik, keuntungan ekonomi, serta inovasi lain untuk mencegah deforestasi dan mengakhiri penggundulan hutan yang telah tumbuh, ternyata tidak cukup. Penggundulan hutan tetap berjalan dan hutan alam semakin pupus.
Sepuluh ribu tahun silam, bumi diselimuti 35 persen hutan belantara. Peradaban yang berjalan selama ribuan tahun tidak banyak mengurangi hutan-hutan tersebut sebagai regulasi iklim. Namun, sejak seabad terakhir, jumlah itu berkurang menjadi hanya 30 persen. Peradaban modern datang dan hanya dalam sekitar 50 tahun terakhir kemudian manusia hanya menyisakan sekitar 10 persen hutan alam di planet bumi hari ini.
Pada 1960-an, Indonesia memiliki 82 persen kawasan berhutan. Lalu hampir 50 tahun kemudian kita hanya menyisakan 49 persen kawasan hutan asli di negeri ini.
Hutan mempunyai peran sangat penting dan vital selama berpuluh-puluh abad. Perannya sebagai carbon sink (regulator ekosistem dan emisi: menghasilkan oksigen dan menyerap CO2) sangat efektif dibandingkan dengan teknologi apa pun.
Maka, mencegah penggundulan dan kebakaran hutan merupakan langkah penting dalam menyelamatkan peradaban manusia. Para pemuka agama mempunyai pengaruh melalui ajarannya dalam mengusung moralitas karena agama memberikan nilai atas kehidupan. Karena iman, seseorang dapat bertindak santun, mampu menahan keserakahan, berbagi kebahagiaan, saling menghormati dan menghargai, serta memuliakan kehidupan.
Di samping itu, gerakan ini melibatkan masyarakat adat. Di Indonesia, masyarakat adat adalah pemilik hutan asli yang masih tetap terpelihara dengan baik. Kewajiban memelihara hutan bagi masyarakat adat adalah sebuah keniscayaan karena bagi mereka, hutan yang lestari, selain sakral, merupakan jaminan kehidupan.
Dalam riset yang dikeluarkan oleh studi John E. Fa dkk (2020) yang dirilis jurnal Frontier in Ecology and the Environment, dipetakan bahwa sepertiga kawasan hutan asli yang masih tersisa di dunia dimiliki oleh masyarakat adat (indigenous people). Hak masyarakat adat diakui dalam UUD 1945. Dalam program perhutanan sosial, pemerintah Indonesia juga mendukung pengakuan hutan adat dengan memberikan konsesi kepada komunitas yang bergantung pada hutan hingga mencapai 12,7 juta hektare lahan melalui izin pengelolaan perhutanan sosial.
Para tokoh agama dan adat dapat menjadi panutan. Dengan pengaruhnya, diharapkan mereka dapat menjadi pelopor yang membawa pengikutnya sadar dan menciptakan perbaikan hutan tropis Indonesia yang lebih menjanjikan.