KEBIJAKAN kampus merdeka yang pekan lalu diluncurkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim berpotensi membuat universitas kita semakin kehilangan arah. Berangkat dari konsep lama link and match, kebijakan ini bakal membuat kampus semakin terjebak menjadi pabrik pencetak tenaga kerja untuk berbagai ragam industri.
Empat program kampus merdeka, yakni kemudahan buat kampus mendirikan program studi baru, relaksasi aturan akreditasi, percepatan perubahan status perguruan tinggi menjadi badan hukum, dan opsi magang tiga semester buat mahasiswa, memang tak semuanya buruk. Program magang yang panjang dan tidak harus diisi dengan bekerja di perusahaan bisa membuka ruang eksplorasi buat mahasiswa yang kreatif. Mereka sekarang boleh memilih membantu petani di desa ataupun menjadi relawan paralegal di lembaga bantuan hukum, tanpa khawatir akan dipecat dari kampus karena meninggalkan kuliah terlalu lama.
Masalahnya, ada kesan empat paketkebijakan kampus merdeka ini berangkat dari asumsi bahwa masalah paling krusial yang dihadapi perguruan tinggi adalah rendahnya tingkat perekrutan lulusannya. Faktanya, memang, setiap tahun ada ratusan ribu sarjana yang menjadi pengangguran. Tapi hal itu tak semata-mata disebabkan oleh buruknya link and match. Pengangguran di kalangan lulusan universitas terjadi justru karena komersialisasi yang berlebihan di kampus-kampus.
Perguruan tinggi tidak boleh dikerdilkan menjadi pusat pelatihan buruh. Itu tugas pendidikan vokasi. Hakikat universitas adalah pusat keunggulan (centreof excellence) ilmu pengetahuan. Kampus seyogianya menjadi institusi rujukan di bidang pendidikan, penelitian, serta penerapan ilmu dan teknologi.
Tren komersialisasi kampus memang dimulai jauh sebelum Nadiem menjadi Mendikbud. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi menjadi tonggak perubahan status universitas menjadi badan hukum otonom yang harus mencari dana untuk membiayai dirinya sendiri. Sejak itu, kampus sibuk membuka kelas internasional, kelas paralel, kelas bisnis, dan macam-macam sebutan lain, untuk menutupi biaya operasionalnya.
Dampak perubahan itu pada kualitas kampus kita juga nyaris tidak ada. Delapan tahun lewat dan hanya ada tiga perguruan tinggi Indonesia yang masuk daftar 500 top universitas dunia versi Quacquarelli Symonds World University Rankings 2019/2020. Ketiga perguruan tinggi itu adalah Universitas Indonesia yang ada di peringkat ke-296, Universitas Gadjah Mada di posisi ke-320, dan Institut Teknologi Bandung di peringkat ke-331. Nadiem punya kesempatan mengembalikan roh pendidikan tinggi kita.
Kampus seharusnya jadi sarana mobilitas vertikal untuk siswa cerdas dari keluarga tak berpunya, yang tak punya kesempatan naik kelas dengan cara lain. Sekarang, dengan kampus yang semakin komersial, hanya mereka yang berduit yang bisa jadi sarjana. Seleksi masuk yang tak lagi murni berdasarkan prestasi ikut berkontribusi menghasilkan inflasi sarjana abal-abal yang pengangguran.
Niat Nadiem mereformasi pendidikan tinggi sudah benar. Tapi dia harus melakukan terobosan yang jauh lebih radikal.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 28 Januari 2020