Langkah pemerintah menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan mereformasi berbagai regulasi yang tumpang-tindih dan kerap kali kontradiktif satu sama lain perlu didukung. Namun upaya deregulasi semacam itu tak boleh mengabaikan asas keadilan dalam kesempatan berusaha, kepastian hukum, dan dampaknya terhadap lingkungan.
Sayangnya, kecenderungan itulah yang justru tampak dari naskah sementara rancangan omnibus law Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja, terutama pada bagian yang memuat pengaturan di sektor pertambangan mineral dan batu bara. Undang-undang ini didesain sebagai payung untuk berbagai perubahan dalam kebijakan pertambangan selama ini. Salah satu perubahan paling mendasar yang tengah dirancang adalah penghapusan batas wilayah eksplorasi dan operasi pertambangan.
Sebelumnya, dalam Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, luas wilayah kegiatan eksplorasi pertambangan mineral logam paling banyak 25 ribu hektare. Sedangkan luas satu wilayah untuk operasi produksi pertambangan batu bara diberikan paling banyak 15 ribu hektare. Area yang melebihi batas tersebut ditetapkan sebagai wilayah pencadangan negara untuk dikelola oleh badan usaha milik negara (BUMN).
Sekarang, rancangan omnibus law menghapus pembatasan tersebut. Ini jelas bertentangan dengan semangat undang-undang lama untuk menjaga kelangsungan cadangan mineral dan batu bara. Pembatasan juga penting untuk mencegah monopoli dan menjaga iklim persaingan usaha yang sehat.
Rancangan omnibus law juga akan memperpanjang izin operasi tanpa proses lelang dan tanpa penciutan luas lahan bagi para pengusaha tambang batu bara raksasa. Prioritas perpanjangan izin untuk perusahaan negara dan perusahaan daerah juga dihilangkan.
Kini setidaknya ada tujuh perusahaan batu bara yang izinnya akan berakhir hingga 2025. Ini termasuk PT Arutmin Indonesia dari kelompok usaha Bakrie, yang izinnya akan berakhir pada 1 November 2020. Rancangan peraturan ini juga mengubah lamanya berlaku izin usaha pertambangan yang semula maksimal 20 tahun menjadi 40 tahun, dan dapat diperpanjang 10 tahun lagi.
Bila rancangan ini kelak disahkan di Senayan, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat jelas berniat melapangkan jalan bagi para pengusaha untuk menguras isi perut bumi Nusantara. Membiarkan perusahaan melakukan eksploitasi secara berlebihan tak hanya merusak lingkungan, tapi juga mengancam masa depan kita sendiri. Pemerintah harus belajar dari pengalaman eksploitasi minyak di masa lalu. Semua kejayaan itu kini tak bersisa. Indonesia sendiri sudah lama tak lagi menjadi negara pengekspor, malah menjadi pengimpor minyak.
Konstitusi kita menggariskan bahwa bumi, air, dan segala kekayaan di dalamnya harus digunakan sebesar-sebesarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan demi profit segelintir pengusaha pertambangan. Perumusan omnibus law yang hanya menguntungkan sekelompok pengusaha yang berafiliasi dengan partai politik tertentu jelas menyalahi cita-cita luhur Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 22 Januari 2020