Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Mendua

image-profil

Oleh

image-gnews
Adegan film Si Doel The Movie 2
Adegan film Si Doel The Movie 2
Iklan

KOTA adalah pengalaman yang membuat orang setengah kaget, setengah terkesima. Setidaknya jika kita berbicara tentang Jakarta: baru sejak tahun 1950-an, dan lebih mencolok lagi setelah 1970-an (belum seabad yang lalu), kota ini masuk ke pertumbuhan urban yang gemuruh, mengasyikkan, mencemaskan.

Pengalaman itu tak dikenal generasi sebelum kemerdekaan. Persisnya generasi Si Doel Anak Betawi, sebagai yang dilukiskan Aman (Datuk Madjoindo) dalam buku ceritanya yang terkenal: Dul Hamid, bocah umur 9 tahun yang menjajakan nasi ulam dari kampung ke kampung, bermusuhan dengan anak Bidara Cina, tapi ia pemberani yang baik. Ayahnya seorang sopir yang tewas dalam kecelakaan lalu lintas, tapi ibunya sangat menyayanginya, meskipun keluarga Betawi ini bukan tanpa konflik: di hari Lebaran Dul dihardik dan diusir engkongnya karena mengenakan seragam padvinder.

Baca Juga:

Dunia Si Dul kemudian tersisih. Jakarta berubah. Tapi endapan ingatan tentang itu tak lenyap-dan mungkin kini tampak kembali ke permukaan. Ada ambivalensi berkelanjutan ketika kita-pembaca-memasuki pengalaman kota yang baru: haruskah ditolak, sebagaimana kakek Si Dul mengecam cucunya yang tak lagi mengenakan peci dan sarung? Atau disambut, sebagaimana Si Dul dengan bangga memakai topi dan sepatu pandu-yang baginya gagah, meskipun tak cocok dengan adat kampungnya?

Samar atau jelas, sikap mendua menghadapi itu-kadang seperti bingung, kadang seperti hipokrisi-terpantul dalam pelbagai ekspresi. Film Indonesia agaknya dokumen paling baik tentang bagaimana kota disikapi: sebuah dunia yang berubah, tapi entah....

Film Krisis Usmar Ismail di tahun 1953 menunjukkan kota dengan perumahan yang makin berdesak-desak. Ruang untuk kehidupan privat praktis tiada, seperti di desa. Tapi film yang sayu itu juga lucu; tak ada kata-kata marah. Ketika Jakarta berubah dengan drastis di masa Gubernur Ali Sadikin menjadi kota yang mengenal night club dan mobil keren-kendaraan yang tampak lebih sebagai dekorasi ketimbang sebagai alat transportasi-Usmar menyindir metropolitan baru itu sebagai Big Village (1969). Film ini tidak hanya menunjukkan sikap memandang kehidupan kota yang ambivalen, tapi juga menunjukkan kota itu sebagai wajah yang cenderung mendua. Seorang peneliti sosiologi perkotaan pernah mengatakan bahwa yang diam-diam berlangsung di Jakarta bukan "urbanisasi", melainkan "ruralisasi": hubungan-hubungan sosial-ekonomi di lapisan bawah justru bertahan sebagaimana di daerah pertanian; yang berlangsung adalah "involusi", yang statis tapi berlanjut tenang karena orang punya cara berbagi kemiskinan.

Tak berarti tanpa sisi yang risau. Pada 1982 Ami Priyono membuat Jakarta Jakarta: kisah seorang pemuda dari Tapanuli yang mencoba bergulat di Ibu Kota. Ia tak berhasil-seperti anak muda dalam balada The Boxer Simon & Garfunkel, yang mencoba bertarung dengan kehidupan New York dan kalah, dan menangis dan malu. Tapi seperti kata akhir lagu itu, "the fighter still remains…."

Sikap ambivalen semacam ini berkecamuk panjang dalam sastra Indonesia. Di sebuah simposium di tahun 1953, Asrul Sani mensinyalir para seniman "melupakan pedalaman". Satu kemacetan (impasse) kreativitas terjadi karena hubungan dengan hidup perdesaan terputus, sementara hidup kekotaan belum sampai "ke nilai-nilai yang sejati". Ironis bahwa Asrul Sani mengatakan semua itu di Amsterdam, jauh dari perdusunan Indonesia, dan ia sendiri setelah itu tak melahirkan karya yang akrab dengan "pedalaman".

Dalam sikap mendua itu, "pedalaman" bisa jadi mithos. Kisah Perjuangan Suku Naga karya Rendra (dipentaskan pertama kali di Jakarta pada 1975) adalah sebuah alegori tentang antagonisme desa dan kota. Lakon ini menunjukkan dengan lantang "kota" sebagai kekuasaan yang rakus dan "pedalaman" dunia yang tenteram, dekat dengan alam, dan rukun. Cerita berakhir dengan kegagalan perjuangan suku yang murni itu. Meskipun demikian, teater yang penuh statemen seperti pidato ini menunjukkan bahwa yang terpukul dalam politik tetap unggul dalam keluhuran nilai. Ini tipikal sebuah melodrama, dengan antithesis antara yang sepenuhnya hitam dan 100% putih.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Cerita dari Jakarta Pramoedya Ananta Toer, kumpulan dari tahun 1948-1956, juga tentang antithesis. Tapi kisah-kisah pendek ini-juga tentang orang-orang yang dikalahkan-tak menyajikan manusia sebagai personifikasi ide dalam sebuah kanvas akbar. Tak seperti Rendra, Pramoedya menceritakan beragam wajah dalam potret-potret kecil, bukan cuma elemen sebuah thesis besar dengan argumen yang sudah siap.

Tapi di sini pula, seperti dalam kumpulan cerita pendek Mochtar Lubis Senja di Jakarta (1957), kota muncul dalam dua sisi yang pernah disebut Henri Lefebvre: scene, bagian yang ditampakkan, dan obscene, yang ditutupi. Dalam cerita-cerita Mochtar, ada dunia mewah Raden Kaslan dan kawan-kawannya yang bergelimang uang hasil korupsi; di sebelah sana, dalam sisi remang-remang senja, dunia jelata Saimun, Itam, Pak Ijo, dan istrinya, Neneng.

Scene dan obscene-kontras, dualisme kota dan pertentangan kelasnya: di titik konflik itu, dalam salah satu ceritanya Pramoedya mempertemukan kita dengan Aminah.

Aminah, pelacur yang makin rudin, "tercancang" dan menemukan basisnya di Taman Fromberg (kini bagian dari Lapangan Merdeka). Hampir tiap malam ia menjajakan diri berdiri "tak lebih dua ratus lima puluh meter dari Istana". Kegelapan adalah ruangnya. Terangnya listrik jalanan menggusurnya. Tulis Pramoedya: "...kalau Paris menyanyikan chanson-nya, ‘cintaku takut cahaya surya’, Jakarta merintihkan kisah malamnya: rezekiku terancam sinar sang listrik."

Kota: cahaya dan gelap dan ketimpangan kekuasaan, proses yang tak mungkin murni. Paling tidak, Jakarta bukan Singapura yang rapi, atau Vatikan yang suci, atau Mekah yang syari. Narasi tak bisa tunggal. Mungkin amarah kakek Si Doel menyaksikan apa yang baru dan asing belum hilang, bahkan kini tampak keinginan kembali ke nilai yang lama. Tapi tiap kali kota, karena ia hidup, selalu membuat beda dalam dirinya. Dan kita pun setengah kaget, setengah terkesima.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


22 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

28 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.