Semakin terang pemerintahan Joko Widodo tak memiliki komitmen dalam penghormatan terhadap hak asasi manusia. Tokoh-tokoh yang diduga melanggar hak asasi di masa lalu mendapat tempat terhormat. Kini, pejabat-pejabatnya pun mengeluarkan pernyataan yang cenderung melecehkan hal fundamental itu.
Pekan lalu, misalnya, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyatakan peristiwa Semanggi I dan II pada 1998 yang merenggut 28 korban jiwa bukanlah pelanggaran hak asasi manusia berat. Ia mengutip hasil rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004.
Selain menyakiti keluarga korban, pernyataan itu menggambarkan ketidakpahaman Burhanuddin atas aturan hukum. Kita tahu, keputusan rapat paripurna itu melanggar kewenangan Dewan. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tak memberikan kewenangan kepada Dewan untuk menyatakan suatu peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat atau bukan.
Kewenangan Dewan hanyalah mengusulkan kepada presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc. Lembaga yang berwenang dalam soal ini hanyalah Komisi Nasional HAM. Penyelidikan lembaga itu kemudian diteruskan ke Kejaksaan Agung sebagai penyidik.
Tragedi Semanggi I dan II merupakan puncak dari demonstrasi panjang setelah reformasi 1998. Peristiwa Semanggi I-diambil dari nama lokasi demonstrasi di Simpang Semanggi, Jakarta Selatan-bermula dari tuntutan demonstran agar Majelis Permusyawaratan Rakyat menggelar sidang istimewa untuk mencopot jabatan Presiden B.J. Habibie pada November 1998 yang baru saja menggantikan Soeharto. Sebanyak 17 orang tewas dan 109 orang lainnya terluka.
Peristiwa kedua adalah demonstrasi menolak rencana pemberlakuan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya yang militeristik. Demonstrasi pada September 1999 ini dihadapi oleh aparat keamanan dengan penembakan. Sebelas orang tewas dan 217 orang terluka.
Pernyataan Jaksa Agung mengingkari laporan penyelidikan Komnas HAM pada 20 Maret 2002. Lembaga itu menyebutkan telah terjadi kejahatan kemanusiaan pada peristiwa Semanggi, juga penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998. Komnas HAM menyatakan dalam tragedi itu telah terjadi perbuatan tidak berperikemanusiaan yang sistematis dan meluas terhadap warga sipil.
Keputusan DPR periode 1999-2004 memang sengaja mencegah tragedi Semanggi diselesaikan lewat pengadilan HAM ad hoc. Pernyataan Jaksa Agung semakin mengukuhkan penyelesaian politis ala Senayan itu. Ironis, karena pemimpin tertinggi lembaga penegak hukum justru "mengesahkan" penyelesaian kasus di luar jalur hukum.
Rezim Jokowi terkesan menempatkan isu hak asasi manusia di urutan bawah daftar prioritas. Presiden mengangkat tokoh-tokoh yang diduga melanggar hak asasi manusia di masa lalu sebagai anggota kabinet, penasihat, ataupun orang dekatnya. Pejabat senior pun membuat argumentasi yang menyesatkan, misalnya Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. yang menyatakan tidak ada pelanggaran hak asasi manusia di era Jokowi. Kenyataannya, berbagai langkah pemerintah-termasuk dalam menghadapi demonstrasi menentang revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menewaskan setidaknya empat orang, September tahun lalu-jelas-jelas melanggar hak dasar warga negara itu.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 20 Januari 2020