TAK perlu berharap Komisi Pemberantasan Korupsi bisa menuntaskan kasus dugaan suap anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan. Sejak awal, pimpinan komisi antikorupsi malah menjegal upaya tim penindakan menangkap dalang penyuapan tersebut. KPK menutupi keberadaan Harun Masiku, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang menjadi tersangka penyuap Wahyu.
Pimpinan KPK mengatakan Harun pergi ke luar negeri pada 6 Januari dan belum diketahui posisinya. Padahal tim penindakan KPK sempat membuntuti Harun hingga masuk ke kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta Selatan, pada Rabu, 8 Januari lalu. Petugas KPK membuntuti Harun setelah mencokok Wahyu, yang diduga menerima suap Rp 900 juta untuk meloloskan calon legislator di daerah pemilihan Sumatera Selatan 1 melalui mekanisme pergantian antarwaktu.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly pada Kamis, 16 Januari, juga menyebutkan Harun masih di luar negeri. Harun memang sempat ke Singapura, tapi Tempo menemukan fakta bahwa dia hanya tinggal semalam di negeri jiran itu dan kembali sehari sebelum Wahyu ditangkap. Harun kini diduga bersembunyi di Gowa, Sulawesi Selatan. Sikap pimpinan KPK dan Menteri Hukum, yang terkesan menutupi keberadaan Harun, menggenapi kekhawatiran publik bahwa pemberantasan korupsi akan melemah pasca-revisi Undang-Undang KPK.
Patut diduga, KPK dan Menteri Hukum-yang berasal dari PDIP-melindungi Harun untuk mencegah kasus suap ini merembet ke petinggi partai banteng. Soalnya, ada dugaan bahwa uang suap untuk Wahyu tidak hanya berasal dari Harun, tapi juga dari salah seorang pengurus pusat partai itu.
Niat pimpinan KPK membatasi penyelidikan atas kasus itu juga terlihat ketika mereka menolak membela anak buahnya yang gagal menyegel ruang kerja Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Petugas partai banteng menghalau penyidik KPK dengan alasan tak membawa izin penggeledahan. Mengenai izin, pimpinan KPK mengatakan sudah mengajukannya kepada Dewan Pengawas. Tapi Dewan Pengawas menyatakan belum menerima permohonan sehingga izin pun belum diberikan. Entah siapa yang berbohong. Yang pasti, sementara mereka bersilang kata, barang bukti mungkin sudah lenyap.
Kejadian memalukan ini sekaligus memperlihatkan bahwa revisi Undang-Undang KPK menghambat kerja KPK. Dewan Pengawas, misalnya, mempersulit rantai izin penyidikan yang sebelumnya sudah panjang karena harus melewati direktur penyidikan, deputi penindakan, dan pimpinan KPK. Padahal petugas KPK harus bergerak cepat menciduk koruptor dan menyita barang bukti.
Tidak ada jalan memperbaiki kerusakan ini selain Presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk mengembalikan UU KPK ke aturan yang lama. Presiden tak bisa lagi pura-pura tak mengetahui efek buruk revisi undang-undang, yang menjegal langkah KPK. Jika dibiarkan tetap seperti sekarang, KPK bakal terus ompong dan mudah dikendalikan oleh koruptor.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 17 Januari 2020