Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Memperkuat Perikanan di Laut Cina Selatan

image-profil

image-gnews
Kapal Coast Guard China-5202 membayangi KRI Usman Harun saat patroli mendekati kapal nelayan pukat Cina yang menangkap ikan di ZEE Indonesia Utara Pulau Natuna, Sabtu, 11 Januari 2020. Tiga KRI mendapati kapal-kapal nelayan Cina tengah menebarkan jala atau jaringnya dan terlihat jelas tengah menangkap ikan secara ilegal. ANTARA/M Risyal Hidayat
Kapal Coast Guard China-5202 membayangi KRI Usman Harun saat patroli mendekati kapal nelayan pukat Cina yang menangkap ikan di ZEE Indonesia Utara Pulau Natuna, Sabtu, 11 Januari 2020. Tiga KRI mendapati kapal-kapal nelayan Cina tengah menebarkan jala atau jaringnya dan terlihat jelas tengah menangkap ikan secara ilegal. ANTARA/M Risyal Hidayat
Iklan

Andre Notohamijoyo
Pemerhati Bidang Kemaritiman, Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia

Kasus pelanggaran wilayah di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia oleh pasukan penjaga kapal dan kapal nelayan Cina di perairan Natuna, Kepulauan Riau, menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dalam mengoptimalkan pengelolaan sumber daya laut di kawasan tersebut. Kurangnya kapal penangkap ikan Indonesia yang beroperasi di wilayah ZEE menyebabkan wilayah tersebut rentan dimasuki oleh kapal asing.

Laut Natuna, Selat Karimata, dan Laut Cina Selatan merupakan wilayah penangkapan perikanan 711. Meskipun sumber daya perikanan di daerah tersebut melimpah, produksi perikanan tangkap di sana cenderung stagnan. Kenaikan rata-rata produksi perikanannya hanya 0,51 persen. Bahkan pada 2016-2017 rata-rata produksinya mengalami defisit -1,07 persen (KKP, 2018). Secara nasional, pada 2012-2016 jumlah nelayan juga terus turun hingga -0,41 persen. Hal ini menjadi masalah dalam pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Maka, perlu ditelusuri kembali implementasi kebijakan pemerintah di sektor perikanan.

Saat ini, jumlah kapal penangkap ikan Indonesia di wilayah konvensi tersebut menurun drastis. Data organisasi perikanan regional Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) per Desember 2018 menunjukkan jumlah kapal penangkap ikan berbendera Indonesia tercatat 326 buah, yang terdiri atas 260 long liner, 65 purse seiner, dan 1 cargo freezer. Jumlah tersebut jauh dari yang diharapkan untuk penangkapan ikan yang terus-menerus dengan volume besar di kawasan Samudra Hindia. Berdasarkan data per Januari 2019, terdapat 384 kapal yang terdiri atas 285 long liner, 91 purse seiner, dan 8 cargo freezer.

Di Samudra Pasifik, Indonesia perlu mendorong kerja sama perikanan dengan negara-negara Pasifik melalui organisasi seperti Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) dan Pacific Island Forum Fisheries Agency (PIFFA). Sebagai anggota WCPFC sejak 2013, Indonesia belum optimal memperoleh manfaat dari keanggotaan tersebut. Data dari WCPFC per Desember 2018 menunjukkan jumlah kapal perikanan berbendera Indonesia yang beroperasi di area Samudra Pasifik bagian barat dan tengah hanya 19 buah dan pada Januari 2019 hanya 22 buah.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis. Indonesia merupakan satu dari sedikit negara yang berbatasan dengan dua samudra yang sangat penting bagi perdagangan maupun ekosistem laut dunia, yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Sayangnya, posisi tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pertumbuhan ekonomi negara ini.

Berbagai kebijakan berbasis kemaritiman yang diangkat sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo hanya sedikit bergaung di berbagai forum internasional tanpa manfaat nyata bagi kesejahteraan masyarakat, khususnya di wilayah pesisir. Program pemerintah, seperti tol laut, poros maritim, dan Indo-Pacific, tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Ini menjadi utang sekaligus pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Hal tersebut juga menjadi tantangan bagi pemerintahan Presiden Jokowi dalam membangun negara berbasis kemaritiman yang dapat menggerakkan roda perekonomian secara signifikan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pembangunan kemaritiman harus mempertimbangkan kesejahteraan nelayan, khususnya nelayan kecil. Apabila diukur dari nilai tukar nelayan (NTN), kesejahteraan nelayan di Indonesia terus meningkat sejak 2014. NTN menunjukkan perbandingan antara indeks harga yang diterima nelayan dan indeks harga yang dibayar nelayan.

Namun, pada kenyataannya, kemiskinan masih mencengkeram masyarakat pesisir. Sebagian besar dari mereka masih hidup dalam taraf kemiskinan. Daerah-daerah pelosok, seperti pulau-pulau kecil dan pulau-pulau terluar, masih memprihatinkan keadaannya serta mengalami kesulitan transportasi dan pengembangan ekonomi.

Kondisi yang terjadi di sektor kelautan dan perikanan sebetulnya merupakan cermin orientasi pembangunan pemerintah. Pembangunan kemaritiman masih sebatas angan-angan dan jargon pemerintah saja.

Kebijakan-kebijakan pembangunan, termasuk alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dan daerah, belum terarah ke pembangunan yang berbasis negara kepulauan. Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi pekerjaan rumah tersendiri yang harus segera diselesaikan. Demikian pula dengan sinergi antar-lembaga terkait dalam pembangunan kemaritiman.

Saat ini, setelah 62 tahun Deklarasi Djuanda, Indonesia masih terus berkutat dengan masalah di laut dan belum kunjung melakukan terobosan yang berdampak positif. Pencurian ikan, peredaran barang ilegal, pengambilan pasir laut, pencemaran laut, pelanggaran batas maritim oleh kapal asing, dan kemiskinan nelayan masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.

Di sinilah perlunya jawaban nyata pemerintah dalam pembangunan kemaritiman. Sinergi antara lembaga pemerintah dan non-pemerintah serta kebijakan yang lebih ramah terhadap investasi di bidang kelautan dan perikanan adalah kata kuncinya. Tantangan terbesarnya adalah menyusun kebijakan di bidang kelautan dan perikanan yang mengedepankan keseimbangan antara prinsip ekonomi, sosial, dan kelestarian lingkungan. Di sinilah kemampuan pemerintah diuji untuk menerapkan kebijakan pembangunan berkelanjutan secara utuh.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

20 jam lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

21 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


23 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

29 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

33 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

48 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

49 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.