Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam audit investasi di Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) harus ditindaklanjuti. Amat tak patut dana milik para prajurit, yang siap mati demi negeri, diurus secara gegabah. Terlebih lagi, ada indikasi bahwa dana tersebut diduga sengaja diselewengkan.
BPK menemukan kejanggalan itu dalam audit pengelolaan investasi Asabri tahun buku 2015 dan semester I tahun 2016. Seluruhnya ada 15 temuan, termasuk potensi kerugian negara dalam jumlah jumbo. Ini disebabkan oleh pembelian saham yang tidak likuid oleh Asabri. Menurut taksiran Ombudsman RI, yang juga melakukan pemeriksaan terhadap Asabri, kerugian akibat salah beli saham itu mencapai lebih dari Rp 10 triliun.
BPK tidak menelisik motif Asabri dalam menempatkan dananya pada saham kelas dua atau kerap disebut saham gorengan itu. Namun, jelas sekali, ada aturan main yang ditabrak Asabri. Aturan yang dilanggar adalah ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang mengatur kriteria saham yang boleh dikoleksi perusahaan asuransi dan dana pensiun. Dalam aturan OJK itu disebutkan bahwa perusahaan seperti Asabri hanya boleh mengoleksi saham yang memenuhi syarat investment grade atau layak investasi, yakni saham-saham papan atas (blue chip) yang likuid dan kuat fundamentalnya. Namun, seperti yang ditemukan Ombudsman, hanya 12 persen saham yang dikoleksi Asabri masuk kategori layak investasi dan 88 persen sisanya masuk kategori saham kelas dua.
Akibatnya, Asabri merugi karena rontoknya harga portofolio saham kelas dua yang mereka koleksi. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, sepanjang 2019 saja, penurunan harga saham portofolio Asabri mencapai lebih dari 90 persen. Jelas sekali kegiatan investasi yang dilakukan Asabri tidak memenuhi unsur kehati-hatian dan melanggar asas tata kelola perusahaan yang baik.
Bahwa aksi salah beli saham di Asabri itu diduga kesengajaan juga terindikasi dari sejumlah kemiripan dengan kasus Jiwasraya, yang sudah ditangani Kejaksaan Agung. Seperti halnya Asabri, alih-alih membeli saham papan atas atau blue chip, Jiwasraya malah mengoleksi saham lapis kedua. Nah, ternyata manajer investasi kedua perusahaan itu juga sama, demikian pula dengan saham kelas dua yang dibeli.
Diduga modus yang dilakukan keduanya juga sama. Mula-mula harga saham gorengan itu dikerek ke level yang tidak wajar. Ketika berada di puncak harga, saham itu dibeli Asabri dan Jiwasraya. Setelah perusahaan pelat merah itu memasukkan dana, harga saham itu perlahan berguguran. Karena itu, seperti skandal Jiwasraya, kasus Asabri ini harus diusut secara hukum.
Tentu saja OJK, sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam mengawasi Asabri, harus segera membenahi kegagalannya dalam mencegah praktik salah urus itu. Sebab, ada indikasi bahwa kasus ini terjadi karena OJK kurang becus bekerja. Indikasinya adalah kasus Asabri dan skandal Jiwasraya sebenarnya terdeteksi berbarengan, sejak 2014. Jika saja OJK bekerja dengan benar dan hasil deteksi dini pada lima tahun lalu itu ditindaklanjuti, dana Asabri dan Jiwasraya tidak akan bocor hingga triliunan rupiah.
Bagi Asabri, kasus ini hendaknya menjadi momentum untuk berbenah. Sudah saatnya Asabri dikendalikan oleh profesional yang mumpuni, tanpa menimbang dikotomi sipil dan militer.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 16 Januari 2020