Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic & Educational Business Institute
Sorotan tajam terhadap kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 kembali mengemuka, menyusul rilis Kementerian Keuangan tentang detail laporan finalnya. Sampai akhir tahun, misalnya, realisasi pendapatan negara baru memenuhi 90,4 persen dari target Rp 2.165,11 triliun.
Potensi kekurangan (shortfall) penerimaan negara yang paling besar disokong oleh penerimaan dari sektor perpajakan, yang sampai akhir tahun lalu diperkirakan meleset Rp 245,5 triliun. Sementara itu, realisasi belanja sampai periode yang sama baru memenuhi 93,9 persen dari pagu sebesar Rp 2.461,1 triliun.
Konsekuensinya, defisit APBN 2019 menyundul angka Rp 353 triliun atau 2,2 persen dari produk domestik bruto (PDB), jauh melampaui target 1,84 persen. Lebih miris lagi, keseimbangan primer (primary balance), yakni total penerimaan dikurangi belanja di luar pembayaran bunga utang, mengalami defisit Rp 77,5 triliun atau melejit 385,3 persen dari target.
Defisit keseimbangan primer yang membengkak semacam ini agaknya patut diwaspadai. Pemerintah mencari utang baru untuk menutup utang lama. Istilah umumnya, "gali lubang, tutup lubang". Pembiayaan anggaran yang mencapai Rp 399,5 triliun atau 134,9 persen dari pagu Rp 296 triliun sudah dengan sendirinya menjelaskan hal ini.
Kenyataan di atas seolah-olah menjadi antitesis dari tekad pemerintah di awal 2019 bahwa keseimbangan primer APBN 2019 diproyeksikan bersaldo nol, guna mengurangi beban utang. Faktanya, kebutuhan fiskal masih jauh lebih tinggi dari kapasitasnya.
Lagi pula, APBN disusun dengan menetapkan lebih dulu besaran belanja daripada penerimaan. Dengan pagu belanja yang bersifat tetap ini, pemerintah kemudian mencari sumber penerimaan.
Kalau ada defisit dan hendak ditutup dengan utang, utang itu tidak boleh melebihi angka defisit. Syarat ini masih berat dipenuhi APBN. Data di atas menunjukkan utang pada tahun berjalan lebih tinggi daripada nilai defisit APBN.
Utang itu harus dialokasikan untuk membiayai belanja produktif agar stimulasi ekonomi menghasilkan efek pengganda (multiplier effect). Aktivitas ekonomi sektoral dan regional yang menjadi turunannya akan terangkat dan pada akhirnya menghasilkan penerimaan negara dari sektor pajak.
Intinya, rasio utang bisa turun jika pertumbuhan ekonomi lebih tinggi daripada utang. Lagi-lagi, prasyarat ini sulit terwujud. Pertumbuhan ekonomi nasional masih stagnan di seputar angka 5 persen, sementara konsumsi rumah tangga sebagai komponen terbesar PDB tidak banyak berubah.
Kenaikan rasio utang mengisyaratkan risiko gagal bayar yang lebih tinggi yang kemudian menuntut suku bunga yang lebih tinggi pula. Konsekuensinya, kenaikan suku bunga utang jadi lebih kencang daripada pertumbuhan ekonomi. Kecenderungan ini mendekati kenyataan. Suku bunga acuan Bank Indonesia dan pertumbuhan ekonomi hanya beda tipis.
Pada saat yang sama, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tengah berfluktuasi. Akibatnya, jumlah cicilan utang dan bunga yang harus dibayar (jika dinilai dalam rupiah) meningkat tajam. Implikasinya, tanpa kenaikan kuantitas utang pun, beban utang dari luar negeri sudah kian berat.
Persoalan utang domestik pun setali tiga uang. Asumsi suku bunga surat perbendaharaan negara (SPN) tenor tiga bulan, yang menjadi patokan beban pembayaran utang dalam negeri, meleset jauh. Kondisi likuiditas ketat di pasar keuangan dalam negeri mendorong tensi perebutan dana antara korporasi dan pemerintah dengan risiko kenaikan imbal hasil. Selisih suku bunga SPN dengan asumsi APBN mencapai 40 basis poin.
Defisit keseimbangan primer juga dapat ditafsirkan sebagai ruang gerak fiskal yang sempit. Sempitnya ruang gerak APBN membuat kebijakan fiskal dalam menjalankan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi menjadi kurang efektif. Jelasnya, APBN dihadapkan pada dilema antara kemampuan stimulasi ekonomi dan kelangsungan APBN itu sendiri.
Dengan konfigurasi masalah di atas, pengendalian defisit APBN 2019 sampai pada level yang relatif rendah tetap harus diupayakan. Kegagalan dalam pengendalian akan berdampak pada besaran defisit keseimbangan primer APBN 2020. Lingkaran setan defisit ini harus dicegah.
Dalam konteks inilah, pemerintah tidak bisa lagi merasa aman berlindung di balik alasan bahwa rasio defisit dalam APBN dan rasio utang negara masih jauh di bawah ambang batas yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara, yakni masing-masing 3 persen dan 60 persen dari PDB.
Pemerintah memang tidak sedang dihadapkan pada banyak pilihan kebijakan. Imbal korban (trade-off) senantiasa terjadi. Hasrat pemerintah untuk mengakselerasi perekonomian di tengah tren pelemahan ekonomi global melalui kenaikan belanja negara mengharuskan APBN defisit.
Sebaliknya, pengurangan defisit anggaran agar utang terpelihara pada level yang aman mensyaratkan penerimaan yang jauh lebih tinggi. Tapi, penerimaan tinggi menghendaki perekonomian yang kondusif. Walhasil, persoalan klasik "ayam dan telur" tetap eksis.
Maka, kinerja APBN 2019 mutlak harus dijadikan refleksi untuk mengarungi tahun 2020 yang sangat menantang. Isu utama APBN 2020 ke depan adalah konsistensi. Implementasinya harus tetap membersitkan sinyal positif menuju APBN yang dinamis dan sehat tapi tetap berkesinambungan.