Sosok Komisi Pemberantasan Korupsi yang kerdil dan tak berwibawa, karena dilemahkan secara sistematis oleh pemerintah Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat, bisa disaksikan saat ini. Kegagapan lembaga antirasuah ini dalam menindaklanjuti dugaan keterlibatan Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dalam kasus suap menjadi buktinya.
Nama Hasto terseret karena dua orang dekatnya, Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah, menjadi tersangka perantara suap untuk komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan. KPK menangkap tangan Wahyu dalam kasus suap penetapan pengganti Nazaruddin Kiemas, calon legislator terpilih dari PDIP yang meninggal.
Acungan jempol layak diberikan kepada tim penyelidik KPK yang berusaha menangkap Hasto di kampus Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu pekan lalu. Sayangnya, usaha empat anggota tim penyelidik itu gagal karena mereka malah ditangkap polisi. Setelah dibebaskan, para penyelidik itu dikabarkan ditegur dan kemudian diganti karena dianggap tak berkoordinasi lebih dulu.
Kurang bergiginya KPK juga terlihat ketika mereka hendak menggeledah dan menyegel kantor Dewan Pimpinan Pusat PDIP, di Jalan Diponegoro, sehari kemudian. Usaha itu gagal karena penyelidik KPK dihalangi petugas pengamanan serta pengurus Partai Banteng yang meminta surat izin penggeledahan dari Dewan Pengawas KPK.
Rangkaian peristiwa ini membuktikan bahwa KPK kini benar-benar telah terlucuti. Klaim pemerintah Jokowi bahwa revisi Undang-Undang KPK, melalui UU No. 19 Tahun 2019, bertujuan untuk memperkuat lembaga antirasuah itu jauh panggang dari api. Undang-undang baru justru mempersulit penyelidikan kasus korupsi.
Sebelumnya, penyidik KPK dapat menyadap, menggeledah, dan menyita atas perintah komisioner KPK. Kini mereka harus melewati mata rantai lebih panjang, termasuk harus mengantongi izin Dewan Pengawas. Bila prosedur berbelit itu diterabas, bukan mustahil akan muncul banyak gugatan praperadilan oleh para tersangka korupsi.
Sikap pemimpin KPK dalam kasus ini juga sungguh mengecewakan. Alih-alih berdiri di depan untuk membela anak buahnya, mereka malah menyalahkan tim penindakan itu. Pemimpin KPK seharusnya berani menjerat mereka yang menghalangi tim penyelidik di PTIK dan kantor PDIP itu sebagai tersangka karena merintangi proses hukum.
Wajah suram KPK seperti hari ini berpangkal dari pelemahan sistematis oleh pemerintah Jokowi dan DPR yang memilih pimpinan KPK dengan rekam jejak bermasalah. Pemerintah dan DPR juga kompak memangkas kewenangan KPK melalui revisi undang-undang. Setelah dilantik pada 20 Desember 2019, tak butuh waktu lama bagi para pemimpin KPK pilihan Jokowi untuk menyabotase pemberantasan korupsi. Kini, sulit mengharapkan KPK di bawah pimpinan Firli Bahuri untuk membongkar kasus korupsi yang melibatkan nama besar. Sangat mungkin pula di kemudian hari akan lebih banyak pelaku korupsi yang tak tersentuh hukum.
Karena itu, tak bisa disalahkan bila masyarakat kini kehilangan harapan dan mengucapkan selamat tinggal kepada era pemberantasan korupsi.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 13 Januari 2020