Bagong Suyanto
Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Reynhard Tambos Maruli Tua Sinaga, 36 tahun, seorang predator seksual yang sudah bertahun-tahun menjalankan aksinya memerkosa ratusan lelaki, akhirnya ditangkap polisi di Inggris.
Selama bertahun-tahun, Reynhard leluasa memperdaya dan memerkosa sedikitnya 195 laki-laki. Mereka diajak berkunjung ke apartemennya, lalu dibius dengan gamma-hydroxybutyrate, yang membuat korban tidak sadarkan diri selama berjam-jam saat diperkosa pelaku. Aksi bejat Reynhard baru berakhir ketika salah seorang korban sadar dan menghajar Reynhard hingga ia masuk rumah sakit.
Tindak kejahatan seksual yang dilakukan Reynhard terbongkar setelah polisi memeriksa ponselnya dan menemukan rekaman adegan tidak senonoh yang dilakukan Reynhard ketika memperkosa para korban. Rekaman itu menjadi bukti tak terbantahkan atas kejahatan yang dilakukannya. Reynhard pun akhirnya divonis hukuman penjara seumur hidup.
Sosok Reynhard kini viral di berbagai media sosial. Reynhard disebut-sebut sebagai predator seksual yang sejajar dengan nama besar pelaku tindak kejahatan seksual lain. Theodore Bundy, misalnya, adalah pria asal Amerika Serikat yang terkenal sebagai pembunuh berantai yang mengerikan. Ia menjadi dalang di balik misteri hilangnya 36 wanita Amerika yang dibunuh dan diperkosanya. Sementara itu, Fanwell Khumalo adalah pria asal Afrika Selatan yang didakwa memerkosa 103 anak perempuan berusia 7 dan 13 tahun selama 1999 hingga 2001.
Sosok predator seksual yang menggemparkan dunia adalah Sunil Rastogi. Pria yang berprofesi sebagai penjahit ini merupakan seorang predator seksual yang dilaporkan telah memperkosa sekitar 600 perempuan selama 13 tahun. Pria asal India tersebut menyasar anak-anak perempuan berusia 11-13 tahun.
Dibanding para predator kelas dunia itu, satu hal yang membedakan Reynhard dengan mereka adalah aksi pemerkosaan yang minus pembunuhan. Reynhard tidak membunuh para korbannya, tapi tindakannya telah menyebabkan para korban menderita beban psikologis yang mesti mereka tanggung seumur hidup.
Luka fisik akibat pemerkosaan barangkali dapat diobati dan disembuhkan. Namun luka psikologis, perasaan traumatis, serta perasaan jijik dan kotor bukan tidak mungkin membuat masa depan korban terganggu.
Berbagai studi telah membuktikan bahwa tidak sedikit korban pemerkosaan yang merasa malu, menarik diri, bahkan sebagian berusaha bunuh diri untuk lepas dari penderitaan yang mengganggu pikirannya. Sebagian korban juga terkadang mengalami gangguan psikologis dan pergeseran orientasi seksual. Artinya, bukan tidak mungkin sebagian korban Reynhard kemudian tanpa sadar tumbuh menjadi calon-calon pelaku pemerkosaan atau paling tidak bergeser orientasi seksualnya, dari heteroseksual menjadi homoseksual layaknya Reynhard.
Kalau melihat latar belakang sosial-ekonomi keluarganya, Reynhard sebetulnya sosok anak muda yang mapan, tidak kekurangan, bahkan memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi. Namun mengapa Reynhard bisa tumbuh menjadi sosok pemerkosa sesama jenis yang mengerikan seperti itu?
Sebagai seorang gay atau orang yang memiliki orientasi seksual penyuka sesama jenis, Reynhard sebetulnya cukup terbuka. Ia tak sungkan mengunggah status di media sosial dengan anggota sesama kelompok gay di Manchester, Inggris.
Berbeda dengan di Indonesia, tempat kelompok homoseksual sering kali dianggap sebagai aib bagi keluarga dan masyarakat, di Inggris ruang gerak bagi kelompok homoseksual sangatlah terbuka. Di Indonesia, tidak sedikit kaum homoseksual terpaksa harus merepresentasikan dirinya sebagai heteroseksual agar tidak mendapat stigma dan diterima di lingkungan sosialnya. Di Inggris, tidak banyak orang yang mempersoalkan orientasi seksual seseorang.
Di Indonesia, studi yang dilakukan Laazulva (2015) menemukan bahwa sekitar 89,3 persen anggota kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) pernah mengalami kekerasan fisik, 79,1 persen pernah mengalami kekerasan psikis, dan 45,1 persen pernah mengalami kekerasan seksual.
Barangkali dengan melihat kondisi di Tanah Air, yang sebagian besar masyarakat masih belum menerima kehadiran seorang homoseksual atau LGBT, itulah yang membuat Reynhard memilih tinggal di Inggris. Pengalaman bertahun-tahun menikmati pengalaman seksual menyimpang tanpa ketahuan dan tentangan dari para korbannya itu tampaknya membuat Reynhard lupa diri. Kesenangan duniawi dan kenikmatan seksual yang menyimpang membuat dia ketagihan hingga terperosok menjadi predator seksual.
Kasus yang terjadi di Manchester dan melibatkan warga negara Indonesia sebagai predator seksual berantai yang terbesar pada abad ini tentu merupakan aib dan mencoreng reputasi Indonesia di dunia internasional. Kasus Reynhard ini ada baiknya menjadi momentum untuk menakar ulang serta merumuskan strategi dan pendekatan seperti apakah yang seharusnya dikembangkan menyikapi perkembangan kelompok LGBT di Tanah Air. Sekadar mengandalkan pendekatan punitif dan regulatif atas dasar moral-dogmatis niscaya tidak akan memecahkan permasalahan LGBT.
Menyikapi perkembangan LGBT ini tampaknya membutuhkan pendekatan yang lebih membumi, empati, dan realistis agar tidak muncul monster-monster predator seksual baru seperti Reynhard.