Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Demokrasi Tontonan di Layar Kaca

image-profil

image-gnews
Layar TV yang menampilkan Menteri Koordinator (Menko) bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Luhut Binsar Panjaitan menjalani sidang Majelis Kehormatan Dewan (MKD) DPR di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 14 Desember 2015. Luhut akan memberikan keterangan terkait kasus dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden dalam perpanjangan kontrak Freeport. Luhut diminta hadir sebagai saksi karena namanya 66 kali disebut pada rekaman percakapan kasus tersebut. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Layar TV yang menampilkan Menteri Koordinator (Menko) bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Luhut Binsar Panjaitan menjalani sidang Majelis Kehormatan Dewan (MKD) DPR di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 14 Desember 2015. Luhut akan memberikan keterangan terkait kasus dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden dalam perpanjangan kontrak Freeport. Luhut diminta hadir sebagai saksi karena namanya 66 kali disebut pada rekaman percakapan kasus tersebut. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Iklan

D. Danarka Sasangka
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Di tengah menguatnya perkembangan industri televisi hampir sepuluh tahun lalu, Jeffrey P. Jones dalam bukunya, Entertaining Politics (2010), memberikan catatan kritis yang cukup menarik. Dengan memakai istilah politainment, Jones menggambarkan bagaimana televisi telah berhasil membongkar batas-batas pemisah dunia politik dan budaya populer. Watak kreatif industri televisi telah mampu mengendurkan keseriusan dan aspek-aspek normatif praktik wacana publik tentang politik.

Beberapa tahun terakhir, kreativitas yang sama juga dapat kita amati dari maraknya berbagai program talk-show dan debat hingga polls-show yang ditayangkan di berbagai layar kaca. Sepanjang masa kandidasi politik 2019 saja, misalnya, setiap stasiun televisi bisa dipastikan telah mengembangkan lebih dari satu model populer untuk setiap program tersebut. Program tersebut seolah-olah gayung bersambut dengan perhatian masyarakat kita. Antusiasme masyarakat tercatat dalam hasil survei Nielsen TV Audience Measurement yang menunjukkan peningkatan tajam peringkat siaran debat presiden pada 2019 dibanding pada 2014.

Inovasi program televisi adalah cermin yang memantulkan suasana politik kita. Ada optimisme yang membuncah tentang bagaimana televisi menjalankan peran strategisnya sebagai short circuit, sebuah perlintasan pendek yang mempertemukan berbagai kepentingan.

Optimisme ini pula yang juga dikemukakan Jeffrey E. Green (2010) tentang peran spectatorship (kepemirsaan) publik bagi demokrasi kontemporer. Dalam konteks partisipasi politik, aktivitas kepemirsaan publik, terutama melalui televisi dan Internet, menjadi bentuk konkret dari model ocular democracy yang kian tak terhindarkan dalam praktik politik saat ini, ketika model demokrasi perwakilan terbukti memiliki berbagai celah kosong yang tidak lagi bisa diharapkan sepenuhnya. Di dalamnya ada kesempatan lebih terbuka bagi publik untuk melakukan pengawasan dan mengartikulasikan pendapat mereka secara mandiri.

Meskipun demikian, harapan tersebut barangkali akan sedikit berkurang ketika dihadapkan pada kualitas kepemirsaan yang berkembang akhir-akhir ini. Kita tidak bisa mengingkari bahwa ruang publik kita kerap dipenuhi oleh cara berwacana yang memantulkan logika panggung televisi. Dalam logika yang hampir selalu melekat dalam dramaturgi industri tontonan ini, momen-momen konflik akan selalu menjadi prioritas yang dikemas secara cepat dan tidak jarang dibumbui berbagai bentuk dramatisasi berlebihan dan personalisasi isu.

Pantulan paling kuat tampak dari cara kita mereproduksi dan menanggapi informasi di layar kaca. Suka atau tidak, kita akan melihat bagaimana wacana reaktif seolah-olah telah menjadi satu gejala yang cukup kuat. Kontroversi tentang persoalan politik yang bersifat sistemik dan seharusnya tetap berfokus pada wilayah yang lebih sistemik tidak jarang berbelok dari substansi persoalan menjadi perdebatan ad hominem tentang kehidupan pribadi para aktor. Gejala ini tidak lain adalah pantulan dari logika tontonan yang tidak memberikan cukup kesempatan bagi publik untuk mengendapkan kebenaran nilai-nilai preferensial yang ditawarkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Memang mustahil mengharapkan perubahan dramaturgi tontonan televisi selama televisi sendiri adalah bagian dari industri. Meskipun, tentu saja, kita tidak bisa melihatnya melalui kacamata minus malum karena hanya akan mengulang jebakan formalisme demokrasi masa lalu.

Untuk itulah, usaha membangun kualitas kepemirsaan menjadi pilihan karena kepemirsaan mandiri masyarakat tidak akan menghilangkan kapasitas kolektif mereka sebagai publik politik. Artikulasi kepentingan pada tingkat individu memiliki peluang yang sangat besar untuk segera berubah menjadi sebuah gerakan kolektif.

Wacana reaktif sendiri pada dasarnya adalah cerminan dari kepemirsaan pasif yang dangkal dan sesaat. Idealnya, kepemirsaan publik adalah kepemirsaan aktif. Meminjam gagasan filsuf Prancis, Jacques Rancière (2008), kepemirsaan aktif ini ditunjukkan oleh kemampuan melakukan refashioning (interpretasi ulang) pesan politik yang didahului oleh sebuah alur pengamatan, seleksi, dan perbandingan informasi yang memadai. Di dalam alur inilah kecerdasan analisis dan kecerdasan etis mewujud.

Kecerdasan analisis adalah kemampuan menangkap sifat sementara tampilan di atas panggung dengan konstelasi ideologisnya yang tersembunyi. Ini termasuk skeptisisme atas strategi dan arah wacana yang dituturkan oleh para aktor politik. Kurangnya kualitas kecerdasan analisis ini bisa terlihat dari begitu kuatnya wacana yang dituturkan sebagai respons atas tampilan luar aktor di panggung tanpa mengupas lebih dalam konstelasi kepentingan di sekitarnya, termasuk kepentingan media sendiri.

Adapun kecerdasan etis mencakup kemampuan untuk menjaga jarak ideologis dengan para aktor politik di panggung tersebut. Kualitas kemampuan etis ini juga bisa dibaca dari kontroversi yang kerap lebih didasarkan pada kedekatan ideologis, bukan pertimbangan-pertimbangan yang lebih terbuka dan substansial bagi kepentingan bersama.

Memang bukan hal yang sederhana untuk membumikan gagasan mengenai kepemirsaan aktif ini. Namun, ketika ocular democracy kian tak terhindarkan, kita perlu mengusahakannya menjadi model demokrasi pirsawan kritis. Di sinilah berbagai bentuk gerakan literasi informasi dan literasi politik perlu mendapat tempat yang lebih konkret dalam sistem pendidikan bermasyarakat.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

3 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

46 hari lalu

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

46 hari lalu

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

52 hari lalu

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

53 hari lalu

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.


Dukung Kesejahteraan PPPK, Kabupaten Banyuasin Raih Penghargaan dari PT Taspen

10 Januari 2024

Pemkab Banyuasin menerima penghargaan atas implementasi dalam kesejahteraan ASN melalui Taspen group terbanyak di wilayah kerja PT. Taspen (Persero) kantor cabang Palembang 2023.
Dukung Kesejahteraan PPPK, Kabupaten Banyuasin Raih Penghargaan dari PT Taspen

Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Kabupaten Banyuasin mendapat jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan hari tua.