D. Danarka Sasangka
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Di tengah menguatnya perkembangan industri televisi hampir sepuluh tahun lalu, Jeffrey P. Jones dalam bukunya, Entertaining Politics (2010), memberikan catatan kritis yang cukup menarik. Dengan memakai istilah politainment, Jones menggambarkan bagaimana televisi telah berhasil membongkar batas-batas pemisah dunia politik dan budaya populer. Watak kreatif industri televisi telah mampu mengendurkan keseriusan dan aspek-aspek normatif praktik wacana publik tentang politik.
Beberapa tahun terakhir, kreativitas yang sama juga dapat kita amati dari maraknya berbagai program talk-show dan debat hingga polls-show yang ditayangkan di berbagai layar kaca. Sepanjang masa kandidasi politik 2019 saja, misalnya, setiap stasiun televisi bisa dipastikan telah mengembangkan lebih dari satu model populer untuk setiap program tersebut. Program tersebut seolah-olah gayung bersambut dengan perhatian masyarakat kita. Antusiasme masyarakat tercatat dalam hasil survei Nielsen TV Audience Measurement yang menunjukkan peningkatan tajam peringkat siaran debat presiden pada 2019 dibanding pada 2014.
Inovasi program televisi adalah cermin yang memantulkan suasana politik kita. Ada optimisme yang membuncah tentang bagaimana televisi menjalankan peran strategisnya sebagai short circuit, sebuah perlintasan pendek yang mempertemukan berbagai kepentingan.
Optimisme ini pula yang juga dikemukakan Jeffrey E. Green (2010) tentang peran spectatorship (kepemirsaan) publik bagi demokrasi kontemporer. Dalam konteks partisipasi politik, aktivitas kepemirsaan publik, terutama melalui televisi dan Internet, menjadi bentuk konkret dari model ocular democracy yang kian tak terhindarkan dalam praktik politik saat ini, ketika model demokrasi perwakilan terbukti memiliki berbagai celah kosong yang tidak lagi bisa diharapkan sepenuhnya. Di dalamnya ada kesempatan lebih terbuka bagi publik untuk melakukan pengawasan dan mengartikulasikan pendapat mereka secara mandiri.
Meskipun demikian, harapan tersebut barangkali akan sedikit berkurang ketika dihadapkan pada kualitas kepemirsaan yang berkembang akhir-akhir ini. Kita tidak bisa mengingkari bahwa ruang publik kita kerap dipenuhi oleh cara berwacana yang memantulkan logika panggung televisi. Dalam logika yang hampir selalu melekat dalam dramaturgi industri tontonan ini, momen-momen konflik akan selalu menjadi prioritas yang dikemas secara cepat dan tidak jarang dibumbui berbagai bentuk dramatisasi berlebihan dan personalisasi isu.
Pantulan paling kuat tampak dari cara kita mereproduksi dan menanggapi informasi di layar kaca. Suka atau tidak, kita akan melihat bagaimana wacana reaktif seolah-olah telah menjadi satu gejala yang cukup kuat. Kontroversi tentang persoalan politik yang bersifat sistemik dan seharusnya tetap berfokus pada wilayah yang lebih sistemik tidak jarang berbelok dari substansi persoalan menjadi perdebatan ad hominem tentang kehidupan pribadi para aktor. Gejala ini tidak lain adalah pantulan dari logika tontonan yang tidak memberikan cukup kesempatan bagi publik untuk mengendapkan kebenaran nilai-nilai preferensial yang ditawarkan.
Memang mustahil mengharapkan perubahan dramaturgi tontonan televisi selama televisi sendiri adalah bagian dari industri. Meskipun, tentu saja, kita tidak bisa melihatnya melalui kacamata minus malum karena hanya akan mengulang jebakan formalisme demokrasi masa lalu.
Untuk itulah, usaha membangun kualitas kepemirsaan menjadi pilihan karena kepemirsaan mandiri masyarakat tidak akan menghilangkan kapasitas kolektif mereka sebagai publik politik. Artikulasi kepentingan pada tingkat individu memiliki peluang yang sangat besar untuk segera berubah menjadi sebuah gerakan kolektif.
Wacana reaktif sendiri pada dasarnya adalah cerminan dari kepemirsaan pasif yang dangkal dan sesaat. Idealnya, kepemirsaan publik adalah kepemirsaan aktif. Meminjam gagasan filsuf Prancis, Jacques Rancière (2008), kepemirsaan aktif ini ditunjukkan oleh kemampuan melakukan refashioning (interpretasi ulang) pesan politik yang didahului oleh sebuah alur pengamatan, seleksi, dan perbandingan informasi yang memadai. Di dalam alur inilah kecerdasan analisis dan kecerdasan etis mewujud.
Kecerdasan analisis adalah kemampuan menangkap sifat sementara tampilan di atas panggung dengan konstelasi ideologisnya yang tersembunyi. Ini termasuk skeptisisme atas strategi dan arah wacana yang dituturkan oleh para aktor politik. Kurangnya kualitas kecerdasan analisis ini bisa terlihat dari begitu kuatnya wacana yang dituturkan sebagai respons atas tampilan luar aktor di panggung tanpa mengupas lebih dalam konstelasi kepentingan di sekitarnya, termasuk kepentingan media sendiri.
Adapun kecerdasan etis mencakup kemampuan untuk menjaga jarak ideologis dengan para aktor politik di panggung tersebut. Kualitas kemampuan etis ini juga bisa dibaca dari kontroversi yang kerap lebih didasarkan pada kedekatan ideologis, bukan pertimbangan-pertimbangan yang lebih terbuka dan substansial bagi kepentingan bersama.
Memang bukan hal yang sederhana untuk membumikan gagasan mengenai kepemirsaan aktif ini. Namun, ketika ocular democracy kian tak terhindarkan, kita perlu mengusahakannya menjadi model demokrasi pirsawan kritis. Di sinilah berbagai bentuk gerakan literasi informasi dan literasi politik perlu mendapat tempat yang lebih konkret dalam sistem pendidikan bermasyarakat.