Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Dongeng Kepastian Hukum

image-profil

image-gnews
Hakim konstitusi Arief Hidayat, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams memimpin sidang pendahuluan uji formil UU KPK di gedung MK, Jakarta, Senin, 9 Desember 2019. TEMPO/Putri.
Hakim konstitusi Arief Hidayat, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams memimpin sidang pendahuluan uji formil UU KPK di gedung MK, Jakarta, Senin, 9 Desember 2019. TEMPO/Putri.
Iklan

Reza Syawawi
Peneliti Hukum Transparency International Indonesia

Idealnya, kata J.J. Rousseau, hukum merefleksikan kehendak umum di masyarakat. Jika terjadi pengabaian, hukum bisa dinilai tidak absah secara politik dan kehilangan legitimasinya. Dampaknya bisa mengarah pada pengabaian hukum. Di titik inilah kepastian hukum akan hilang dan keadilan tak akan pernah mungkin dicapai (Manullang, 2017).

Baca Juga:

Jika menggunakan pendekatan ini, akan ada banyak hukum atau undang-undang di Indonesia yang kehilangan legitimasinya. Sebab, dalam banyak penyusunan produk hukum, pembentuk undang-undang tidak pernah tuntas mengakomodasi dan merefleksikan apa yang disebut sebagai "kehendak umum".

Hal yang banyak terjadi adalah pengabaian dan pengingkaran partisipasi, bahkan menempatkan partisipasi sebagai bentuk perlawanan atas kekuasaan. Ini mungkin yang disebut Charles E. Merriam (1934) sebagai kemiskinan politik (poverty of power). Fenomena represi muncul karena pemerintah miskin sumber daya politik. Ketika kekuasaan berada dalam situasi yang sulit (dominasi kepentingan elite), mereka beralih menggunakan cara-cara represif. Hal ini bahkan terjadi di rezim yang sudah matang dan stabil (Nonet & Selznick, 1978).

Kehendak umum sejatinya tidak hanya soal partisipasi formal, tapi juga substansial. Jika mengambil contoh perubahan Undang-Undang KPK, kita akan mendapati betapa proses formal dalam perumusan undang-undang dilanggar. Undang-undang yang tidak masuk rencana legislasi tiba-tiba menjadi prioritas. Partisipasi publik diberangus. Substansi regulasi dianggap sebagai otoritas penuh dari pembentuk (penguasa) undang-undang.

Hasilnya bisa dilihat dalam salah satu poin revisi Undang-Undang KPK yang memberi kewenangan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kepada KPK dengan berlindung di balik alasan untuk memberikan kepastian hukum bagi tersangka korupsi. Padahal SP3 yang tak terkontrol justru menjadi momok bagi institusi kepolisian dan kejaksaan dalam menangani kasus pidana, termasuk korupsi. Lalu di mana letak kepastian hukum yang hendak dituju?

Kepastian sebagai ide antropologis sebetulnya tidak lahir dari sebuah konsep hukum. Namun, dalam praktiknya, perumusan hukum diasumsikan seolah-olah telah memberikan kepastian hukum, padahal tidak. Kepastian yang dituju malah menimbulkan ketidakpastian baru di dalam hukum. Dalam banyak hal, kepastian hukum disederhanakan sebagai tujuan, padahal ia merupakan proses yang tak pernah berhenti (Avila, 2016).

Dengan dasar asumsi ini, hukum dengan segala otoritasnya menyederhanakan problem-problem sosial ke dalam norma-norma. Atas nama kepastian hukum, semua hal diatur dan membuat standar nilai baru yang sebetulnya tidak koheren dengan kepentingan publik dan kehendak umum.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Formalitas pembentukan hukum menjadi tameng bagi pembentuk undang-undang. Prosedur konstitusional menjadi alasan pembenar untuk mengesahkan suatu aturan walaupun itu mengabaikan tuntutan publik. Lalu apakah konstitusi sebagai hukum dasar memang tidak memberikan kepastian bagi setiap warga negara untuk terlibat dalam penyusunan aturan yang akan juga diberlakukan terhadap dirinya?

Di titik ini saya melihat sistem pembentukan hukum memang bermasalah sejak dilahirkan. Bukan hanya soal kuantitas dan disharmoni antar-peraturan, tapi memang tidak didasari satu konteks apakah norma ini muncul dari sebuah kajian yang mendalam dan apakah hukum hadir sebagai sarana untuk menyelesaikan problem sosial.

Di satu sisi, mungkin kita ingin keluar dari belenggu regulasi yang bermasalah, atau katakanlah semangat nasionalisme untuk memberikan corak hukum tersendiri yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Tapi, di sisi lain, semangat ini agaknya harus disertai dengan tingkat afirmasi publik terhadap aturan yang akan dilahirkan.

Selama lebih dari dua dekade pasca-reformasi, politik hukum pembentukan peraturan perundang-undangan memang sedang mengalami fase kritis. Situasinya memang sangat berbeda dengan masa transisi pada awal reformasi, saat ada banyak undang-undang yang bisa disebut responsif dan dimunculkan sebagai antitesis atas rezim totaliter. Misalnya, regulasi di bidang hak asasi manusia, hak-hak politik, termasuk reformasi struktur kelembagaan negara yang melahirkan banyak lembaga independen untuk mengawasi aktivitas semua cabang kekuasaan negara. Tujuannya tentu saja adalah melindungi masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan. Pada masa itu, kekuatan sipil juga menguat. Masyarakat terlibat dan ikut mengontrol jalannya pemerintahan.

Jika merefleksikan apa yang terjadi dewasa ini, mungkin tidak berlebihan jika menyebutnya sebagai fase kritis. Konsolidasi elite justru semakin menguat, transisi politik melahirkan klientelisme dalam politik, dan relasi politik hanya dimaknai dalam konteks menyediakan dukungan elektoral dengan imbalan tertentu (Aspinall & Berenschot, 2019).

Bagi para politikus, atau pebisnis-politikus, ketika hukum sudah bisa dikendalikan, di situlah ruang untuk semakin memperkuat dan melanggengkan kekuasaan yang dibangun atas relasi politik yang pragmatis. Hasilnya, kekuatan oligarkis akan semakin menguat dengan berlindung di balik jargon demokrasi sembari menebar dongeng tentang pentingnya kepastian hukum.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


21 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

28 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.