Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Upaya Komprehensif Genjot Investasi

image-profil

image-gnews
Bank Dunia. worldbank.org
Bank Dunia. worldbank.org
Iklan

Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia

Berdasarkan Laporan Kemudahan Berbisnis (Ease of Doing Business) terbaru yang dirilis oleh Bank Dunia, Indonesia berada di peringkat ke-73, lebih rendah dibanding Vietnam dan Thailand, yang menjadi negara utama tujuan relokasi investasi akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina. Secara spesifik, terdapat dua aspek mengapa Indonesia tertinggal cukup jauh dibandingkan dengan kedua negara tersebut, yakni izin konstruksi dan pelaksanaan kontrak.

Baca Juga:

Sudah menjadi rahasia umum di kalangan investor bahwa persoalan izin konstruksi di Indonesia terletak pada prosesnya yang memakan banyak waktu. Laporan Kemudahan Berbisnis menyebutkan, Indonesia membutuhkan 18 tahapan prosedur (Thailand 14 dan Vietnam 10) dan perizinan baru bisa selesai dalam waktu 200 hari (Thailand 113 hari dan Vietnam 166 hari). Lamanya penyelesaian perizinan tentu menyebabkan tambahan biaya investasi yang harus dikeluarkan alias ongkos investasi makin mahal. Terang saja, investor pun, terutama dari Cina, enggan datang ke Indonesia.

Ihwal pelaksanaan kontrak, isu yang dihadapi Indonesia terletak pada biaya yang diperlukan terkait dengan proses peradilan. Laporan Kemudahan Berbisnis menyebutkan proses peradilan di Indonesia mengeluarkan biaya hingga 70 persen dari total klaim yang dilaporkan (Thailand 16 persen dan Vietnam 29 persen). Biaya tersebut terdiri atas biaya pengacara, peradilan, dan pelaksanaan kontrak. Hal ini dengan jelas mengindikasikan bahwa Indonesia masih belum mampu memangkas biaya yang tidak perlu akibat banyaknya regulasi dan kurang fleksibelnya implementasi aturan formal (red tape costs).

Sejatinya, Indonesia telah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk memperbaiki iklim investasi. Misalnya, paket kebijakan ekonomi ke-2 yang memberikan layanan cepat izin investasi dalam waktu tiga jam di kawasan industri. Selain itu, paket tersebut memberikan insentif pajak pertambahan nilai terhadap beberapa alat transportasi, seperti kereta api dan pesawat terbang, yang diharapkan dapat mengakselerasi investasi yang masuk ke Indonesia. Namun, faktanya, kebijakan tersebut tidak cukup mampu menarik para investor. Pemerintah sudah berusaha mengatasinya melalui pelayanan online single submission (OSS), tapi itu masih belum mampu mempercepat proses perizinan.

Dalam laporan Global Competitiveness Index (GCI) 2019 yang belum lama ini dirilis Forum Ekonomi Dunia (WEF), posisi daya saing Indonesia juga merosot lima peringkat, dari posisi ke-45 menjadi ke-50 dari 141 negara. Bahkan skor daya saing Indonesia turun tipis 0,3 poin ke posisi 64,6. Dari sembilan negara ASEAN, hanya Indonesia dan Filipina yang skor daya saingnya turun. Delapan negara lainnya malah naik. Indonesia makin tertinggal jauh dari Singapura, yang menempati posisi pertama, atau dari Malaysia dan Thailand, yang sebenarnya juga turun dua peringkat tapi masih berada di posisi ke-27 dan ke-40.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jadi, tak mengherankan jika belakangan banyak investor global yang belum melirik Indonesia. Bahkan beberapa investor mencabut investasinya, seperti Pepsi dan Holcim Lafarge serta Saudi Aramco, yang sudah menyatakan batal membangun kilang di Tanah Air. Hal yang dialami Indonesia jelas berbeda dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, seperti Vietnam, Malaysia, Thailand, atau Filipina, yang mampu menarik minat investor dengan sangat baik. Hal tersebut terjadi lantaran iklim investasi di Indonesia memang dinilai kurang bersahabat dengan investor. Ini ditambah pula dengan relasi yang kurang harmonis antara pusat dan daerah.

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi asing yang masuk ke Indonesia bergerak lambat dalam lima tahun terakhir. Pada 2014, total dana investor asing sudah mencapai US$ 28,5 miliar. Sempat mencapai US$ 32,1 miliar pada 2017, tapi kembali turun pada 2018. Ironisnya, penurunan tersebut terjadi saat pemerintah meluncurkan sistem perizinan usaha secara online melalui OSS.

Hal yang tak kalah krusial adalah kurang konsistennya relasi antara kebijakan ketenagakerjaan dan kebijakan moneter. Sejak beberapa tahun belakangan, kenaikan upah minimum yang ditetapkan oleh Kementerian Tenaga Kerja kurang memperhatikan sisi iklim investasi. Dengan rumus kenaikan upah minimum regional (UMR) yang ditetapkan pemerintah, gambaran dunia ketenagakerjaan nasional cukup menakutkan di mata investor global pada saat kondisi makro ekonomi juga terus tertekan. Biasanya, jika kenaikan upah terlalu tinggi, pemerintah menyiasatinya dengan melemahkan mata uang lebih-kurang sebanding dengan kenaikan upah pekerja agar beban yang ditanggung investor asing tidak bertambah. Namun hal tersebut tak terjadi. Kedua sektor cenderung berjalan sendiri-sendiri.

Pada akhirnya, upaya menggenjot investasi adalah upaya ekonomi makro. Pemerintah harus menunjukkan kinerja progresif dalam memajukan perekonomian nasional dengan indikator umum yang bisa berkorelasi positif dengan indikator mikro dan sektoral. Inisiasi OSS, misalnya, tak akan berpengaruh jika investor asing melihat perekonomian nasional kurang berprospek progresif. Persepsi tersebut kian buruk jika di level sektoral pun masih banyak kendala teknis yang memperburuk mimpi investor untuk berbisnis. Dengan kata lain, dengan omnibus law atau apa pun istilahnya, jika model dan logika dasarnya sama dengan OSS, kemajuan akan cukup sulit diraih.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


18 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

24 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.