Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Banjir Lagi

image-profil

Oleh

image-gnews
Seorang warga menggendong anaknya saat daerahnya terendam banjir di kawasan Kampung Baru, Kembangan, Jakarta Barat, Kamis, 2 Januari 2020. Saat foto ini diambil, warga menyebut bantuan belum mencukupi. ANTARA/Muhammad Adimaja
Seorang warga menggendong anaknya saat daerahnya terendam banjir di kawasan Kampung Baru, Kembangan, Jakarta Barat, Kamis, 2 Januari 2020. Saat foto ini diambil, warga menyebut bantuan belum mencukupi. ANTARA/Muhammad Adimaja
Iklan

Putu Setia
@mpujayaprema

Negeri ini sudah biasa kebanjiran. Alam sudah rusak. Setiap awal tahun, selalu bencana itu muncul. Tahun lalu, tujuh daerah di Nusantara dilanda banjir besar, di luar Jakarta. Korban pun tidak sedikit. Di Sulawesi Selatan, misalnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat 79 orang meninggal, 1 orang hilang, 48 orang luka-luka, dan 6.757 orang mengungsi akibat banjir pada akhir Januari 2019.

Tapi hanya di Jakarta banjir diributkan berhari-hari. Barangkali karena Ibu Kota kewalahan menghadapi banjir, sehingga solusi terbaik yang dipilih Presiden adalah memindahkan ibu kota. Ibu kota yang baru diharapkan bebas dari banjir. Akan halnya Jakarta, itu terserah gubernurnya.

Di Jakarta berkumpul orang-orang cerdas, juga orang-orang kaya, yang ikut terkena dampak banjir. Termasuk para politikus, sehingga urusan banjir tak lagi soal bagaimana mencari solusi agar air tak menggenangi jalan, masuk ke rumah gedongan, menghanyutkan mobil, dan seterusnya. Namun bagaimana air yang menggenang di berbagai tempat itu menjadi alat untuk menjatuhkan lawan politik. Maka, tak mengherankan jika kita mendengar saling tuding siapa yang salah dalam urusan banjir di tengah-tengah masyarakat kecil meminta pertolongan karena masih berada di atas atap.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimoeljono, misalnya, menyebutkan salah satu penyebab banjir yang melanda DKI Jakarta adalah tidak selesainya normalisasi Kali Ciliwung.

Menurut Basoeki, dari target 33 kilometer, yang berhasil dinormalisasi baru 16 kilometer. Ia kecewa atas kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang tidak kunjung menyelesaikan pekerjaan tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gubernur Jakarta Anies Baswedan menyatakan normalisasi macet karena pembebasan lahan yang teramat sulit. Kita tahu bahwa di seluruh Nusantara, jika ada pembebasan lahan untuk proyek, menjelimetnya setengah mati. Sembari menunggu pembebasan lahan, Anies memperkenalkan apa yang disebut naturalisasi. Biarkan pinggir sungai tak dibeton, sehingga air yang melimpah bisa diresap secara natural. Lalu Anies pun menyentil, apa pun yang dilakukan di hilir, kalau hulunya tak dibenahi, banjir terus akan terjadi, karena air bebas mengalir ke pesisir tanpa ada hambatan. Jakarta adalah kota pesisir. Artinya, dua bendungan yang mau dibangun pemerintah untuk menghadang air dari hulu harus segera diselesaikan.

Nah, perdebatan cerdas ini dilakukan di tengah-tengah masyarakat yang menjerit minta dievakuasi dan pengungsi yang membutuhkan makanan segera.

Polarisasi pun muncul dari banjir. Ada yang mengaitkan banjir besar pada hari pertama tahun berangka istimewa ini sebagai azab. Sebutlah semacam kutukan. Bagaimana kata azab itu bisa muncul? Maka publik diingatkan pada pilkada yang menaikkan Anies Baswedan dan menjungkalkan Basuki Tjahaja Purnama. Ini bisa bercanda, tapi mungkin juga serius. Bisa jadi pula Tuhan Yang Maha Asyik ingin menguji sejauh mana perseteruan antara cebong dan kampret masih ada. Memang terbukti kemudian ajakan Presiden Jokowi untuk melupakan cebong dan kampret tidak digubris oleh para pengikutnya. Jokowi dan Prabowo boleh bertemu mesra di Gedung Agung Yogyakarta pas Jakarta dilanda banjir besar, sementara cebong dan kampret bermunculan dari air yang menggenang di mana-mana.

Itulah sisi lain dari banjir Jakarta. Kota ini memang unik dan pantas menjadi daerah khusus. Bagaimana kalau status daerah khusus ini disamakan dengan daerah istimewa seperti Yogyakarta? Gubernurnya tak usah dipilih, tapi diangkat dan ditetapkan oleh presiden.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

1 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

22 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


24 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

30 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

34 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

50 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

50 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.