Idul Rishan
Penulis Buku Kebijakan Reformasi Peradilan
Bagi peneliti maupun para akademikus, riset Sebastian Pompe (2012) kerap menjadi rujukan bagi mereka yang tertarik pada isu kekuasaan kehakiman. Secara gamblang, Pompe menguraikan betapa buruknya pengaruh kekuasaan pada era Orde Lama dan Orde Baru terhadap institusi Mahkamah Agung. Di bawah konfigurasi politik intervensionis, Mahkamah tidak lagi independen. Saat itu kepercayaan publik menurun akibat kolusi di MA. Jubah dan palu hakim tak lagi berwibawa, dan putusan tak juga bermahkota. Pompe menyebutnya sebagai "runtuhnya institusi MA".
Ketika Orde Baru kolaps, harapan mulai tumbuh terhadap MA. Perubahan konfigurasi politik, dari otoritarianisme ke demokrasi, memupuk pemulihan kepercayaan terhadap MA. Apalagi Presiden B.J. Habibie memberikan keleluasaan bagi MA untuk mengatur sendiri kebijakan organisasi di bawah satu atap. Asumsinya, atap MA menjadi kuat, tak mudah bocor, dan tahan tekanan pemerintah.
Namun, setelah 20 tahun bergulir, MA kenyataannya masih berkutat dengan perilaku korup di bawah atapnya sendiri, manajemen jabatan hakim yang bias, krisis legitimasi berhukum, hingga rendahnya kepercayaan publik. Mari kita tengok masalah ini satu per satu.
Pertama, korupsi di MA. Berdasarkan data yang telah dipublikasikan Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2019, jumlah oknum hakim yang terjaring operasi tangkap tangan KPK menembus 24 orang. Data ini belum ditambahkan dengan jumlah pejabat pengadilan di luar hakim yang juga ikut terseret oleh pusaran kasus korupsi, termasuk mantan Sekretaris Jenderal MA, Nurhadi. Jika merujuk pada indeks persepsi korupsi (TII, 2018), institusi peradilan masih ditempatkan sebagai sektor rawan korupsi. Hal ini menguatkan pandangan bahwa pengawasan internal MA tidak berjalan dengan baik.
Kondisi ini semakin sulit dengan peran pengawas etik yang tak bergigi laiknya Komisi Yudisial. Rekomendasi kerap diabaikan oleh MA dengan alasan mereduksi independensi hakim. Sepertinya kita masih memiliki pekerjaan besar untuk melakukan rekonseptualisasi independensi jabatan hakim. Jika dibiarkan, para hakim akan terus membentuk perisai atas nama independensi guna menghindari fungsi pengawasan. Padahal Contini & Mohr (2007) telah mencatat bahwa independensi hakim bukan kebebasan tanpa batas, tapi perlu diikuti oleh proses yang akuntabel.
Kedua, biasnya manajemen jabatan hakim. Dengan model satu atap, ada kecenderungan monopoli kekuasaan di MA. Atas nama independensi peradilan, promosi dan mutasi menjadi domain tunggal MA. Tidak boleh disentuh dan dicampuri oleh pihak lain. Komisi Yudisial sekalipun, sebagai pilar reformasi peradilan, tak mampu mengakses dan menjangkau pola promosi dan mutasi jabatan hakim di MA.
Riset Sukma Violetta (2017) relevan dalam memberikan preskripsi atas kondisi ini. Ada kecenderungan MA tidak bersifat obyektif dalam melaksanakan mekanisme promosi dan mutasi hakim. Ada keistimewaan pada orang-orang tertentu. Riset ini menunjukkan bahwa tanpa adanya akuntabilitas, independensi peradilan bisa disalahgunakan sehingga menimbulkan ketiadaan keadilan (fairness).
Ketiga, krisis legitimasi berhukum. Dalam beberapa kasus tertentu, putusan MA membuka kesenjangan yang besar terhadap rasa keadilan masyarakat. Sebut saja kasus Baiq Nuril yang tajam akan kepastian hukum tapi hambar rasa keadilan substantif. Kemudian vonis MA atas peraturan Komisi Pemilihan Umum yang justru membuka pintu masuk bagi mantan narapidana koruptor untuk ikut berkontestasi dalam pemilihan umum legislatif. Kasus paling anyar, vonis Syamsul Chaniago kepada Syafruddin Temenggung yang di dalamnya terkandung cacat etik dan moralitas. Padahal Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman telah mengatur bahwa hakim memiliki integritas, tunduk pada kode etik, serta wajib menggali dan mengikuti nilai-nilai rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Membaca kasus di atas, mahkota putusan itu seolah-olah hilang. Bahkan, lebih ironis lagi, perkara itu terjadi pada tingkat final di MA.
Keempat, rendahnya kepercayaan rakyat. Pada akhirnya, rentetan akumulasi kekecewaan di atas mempengaruhi tingkat kepercayaan publik terhadap institusi MA. Tren vonis ringan terhadap perkara korupsi akhirnya dibaca oleh publik sebagai bagian yang tidak memihak kepada pemberantasan korupsi.
Sebenarnya masalah keempat ini muncul akibat titik kulminasi pada aspek hilir. Tiga aspek sebelumnya merupakan aspek hulu yang mendesak untuk dievaluasi kembali. Selama ini, sistem satu atap di MA tidak pernah lagi disentuh sebagai bagian yang perlu dibenahi. Terlalu besar kiranya harga yang harus dibayar jika mempertahankan sistem satu atap di tengah intensitas masalah yang melilit MA saat ini. Sistem satu atap itu bukan harga mati. Perubahan di MA adalah sebuah keniscayaan. Tampaknya perjuangan reformasi peradilan akan terus dilanjutkan. Optimisme perlu dibangun dalam satu tarikan napas bahwa institusi MA tidak boleh runtuh lagi.