Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Konflik Pecah di Tubuh Hanura

image-profil

image-gnews
Wiranto mundur sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Hanura, Rabu, 18 Desember 2019.
Wiranto mundur sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Hanura, Rabu, 18 Desember 2019.
Iklan

Umbu T.W. Pariangu
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang

Pada bibir pergantian tahun, lanskap politik kita kembali diwarnai konflik internal di Partai Hanura. Dua elitenya, Wiranto dan Oesman Sapta Odang atau OSO, tengah meradang. Kubu Wiranto menolak mengakui OSO sebagai Ketua Umum Hanura yang terpilih secara aklamasi dalam Musyawarah Nasional Hanura III, 18 Desember lalu. Wiranto juga menuduh OSO melanggar pakta integritas yang dibuat pada 2016. Tidak terima atas tuduhan tersebut, kubu OSO balik mengancam mempolisikan Wiranto atas pernyataannya yang mengaku-ngaku sebagai pengurus sah.

Baca Juga:

Sudah jatuh, masih tertimpa tangga pula. Begitulah nasib yang mendera partai ini yang dalam pemilihan umum 2019 gagal melenggang ke Senayan karena hanya mendulang 2,16 juta suara atau 1,54 persen, masih di bawah ambang batas parlemen yang sebesar 4 persen. Alih-alih memanaskan mesin politik untuk menyongsong pemilihan kepala daerah serentak 2020, Hanura malah terpanggang panasnya egosentrisme dan intensi keras kekuasaan para elitenya. Jika situasi ini terus dibiarkan, momentum konsolidasi politik Hanura akan sirna, bahkan bisa menjurus ke faksionalisasi yang berpengaruh pada spektrum politik nasional.

Habitus menjaga sakralitas posisi dan kedudukan, melebihi fungsi sebagai elite atau pemimpin yang subtil, merupakan penyelewengan etika khas dunia perpolitikan kita. Sayangnya, itu tidak pernah sungguh-sungguh dilihat sebagai abnormalitas politik yang mesti dihindari jauh-jauh. Dalam Outline of a Theory of Practice, sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, menjelaskan, habitus atau kebiasaan adalah struktur mental atau kognitif yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial dan politik.

Dalam politik, intrik atau manuver untuk merebut dan mempertahankan kursi kekuasaan kerap menjadi habitus yang justru mendapat justifikasi dari banalitas kehidupan sosial. Seseorang mendapat ruang eksklusif dari masyarakat hanya karena jabatan dan pengaruh yang dimilikinya, meskipun untuk memperoleh keistimewaan tersebut, kerap digunakan cara-cara yang melukai adab dan etika.

Itu sebabnya betapa sudah menjadi hal yang jamak dalam dunia kekuasaan ketika pilihan sikap dan kebijakan para elite selalu menimbulkan efek yang memperkuat karakter independent maximizer atau mempertinggi nilainya sendiri di tengah-tengah masyarakat (Musser & Orke, 1992). Karakter tersebut berorientasi pada kekuasaan, ambisional, dan orientasi egoistik ketika hasil bagi diri sendiri dianggap sebagai sesuatu yang positif, sedangkan bagi orang lain negatif (Machiavellianisme).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Akibatnya, alih-alih kehadiran seorang politikus mampu memberikan kontribusi bagi institusionalisasi kompetensi etis dalam organisasi politik, yang terjadi justru sebaliknya: keberadaannya kian memperlebar ruang skeptisisme dan kecurigaan publik terhadap prospek moral dan demokratis sebuah partai politik.

Maraknya kasus-kasus korupsi serta kian masifnya perilaku dan gaya hidup mewah di kalangan elite politik dewasa ini setidaknya menunjukkan betapa lemahnya kesadaran dan kompetensi etis para elite partai dalam memaknai jabatan dan mengartikulasikan mandat rakyat yang mereka emban. Meskipun proses sirkulasi elite terus berlangsung secara gradual (setiap lima tahun), watak dan sikap elite tetap persisten dalam mentalitas ostentasialisme (suka pamer) dan tak peduli terhadap perasaan dan kepentingan publik. Bahkan, menurut Komisi Pemberantasan Korupsi, akar masalah korupsi di Republik ini sesungguhnya ada di partai politik.

Padahal, menurut Voltaire, istilah partai identik dengan nilai yang baik dan progresif (Sartory, 1976). Ini berbeda dengan makna "faksi" yang menjurus pada keburukan, yang karena itu dibenci sejak zaman Romawi hingga abad ke-19. Karena itu, dalam tradisi pemikiran politik Barat, istilah "faksi" merupakan sesuatu yang dikecualikan dari domain nilai-nilai etik kekuasaan dan kebaikan bersama karena sejatinya "faksi" adalah "sebuah partai yang suka memberontak dalam sebuah negara", sedangkan partai lebih dipakai untuk menunjukkan faksi-faksi yang tidak memberontak.

Sayangnya, semakin ke sini kita tidak melihat adanya upaya militan para politikus untuk mengakui sikap dan habitus etis politiknya. Hasil survei Lembaga Survei Indonesia pada Agustus 2019 malah konsisten menetapkan partai sebagai institusi yang mendapat kepercayaan terendah dari masyarakat. Ini terjadi tidak hanya karena faktor politik uang dan budaya pragmatisme, tapi juga karena konflik internal partai yang tidak dikelola baik sehingga memantik kemarahan dan apatisme yang meluas dari publik.

Rakyat sebagai pemegang saham demokrasi tentu berharap konflik di lingkup internal Hanura segera "tutup buku" seiring dengan berakhirnya 2019. Para elite yang bertikai harus berani menurunkan egonya dan duduk semeja untuk menyelesaikan masalah partai secara bijak dan visioner. Kedua kubu selayaknya sama-sama mengedepankan "politik nilai" untuk mencapai "islah" yang terbaik bagi masa depan Hanura dan pembangunan demokrasi. "Politik nilai" akan mempengaruhi kecenderungan elite untuk mendukung satu tujuan bersama (soliditas dan perdamaian), melebihi faktor-faktor lain (gengsi, kehormatan, kekuasaan), termasuk menjadi alat evaluasi diri (Rokeah, 1973).

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


18 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

25 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.