Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Pembangunan Ekonomi Jokowi Minus Kebebasan

image-profil

image-gnews
kolom
kolom
Iklan

Abdil Mughis Mudhoffir

Sosiolog, dosen Universitas Negeri Jakarta

KALANGAN pengamat, terutama para Indonesianis, menilai penurunan kualitas demokrasi di Indonesia terjadi sejak periode pertama pemerintahan Joko Widodo. Penurunan ini terkait prioritas pembangunan ekonomi Jokowi yang cenderung mengesampingkan hak asasi manusia (HAM) dan penegakan hukum. Setelah terpilih untuk yang kedua kalinya, bahkan sebelum dilantik, kecenderungan itu kembali menguat. 

Beberapa kasus belakangan yang dapat disebutkan menuju ke arah itu di antaranya: pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, represi terhadap demonstran yang menolak pelemahan komisi antikorupsi, penggunaan pendekatan keamanan dalam menangani krisis di  Papua, serta berbagai bentuk pembungkaman politik terhadap oposisi. Di saat yang sama, pemerintah kembali mempertegas prioritas pembangunan di bidang ekonomi. 

Dalam pidato pertamanya setelah kembali terpilih sebagai Presiden, Jokowi menegaskan akan ‘menghajar’ siapa pun yang menghambat investasi. Ia merujuk pada perizinan yang berbelit-belit dan maraknya pungutan liar sebagai penghambat investasi. Namun, mengingat demokrasi di Indonesia selama ini ditopang praktik konsentrasi sumber daya ekonomi melalui akses terhadap otoritas publik, apa yang dikemukakan Jokowi tidak lain sekadar retorika. 

Pada kenyataannya, investasi lebih terkendala di antaranya oleh adanya penolakan warga yang berupaya mempertahankan haknya atas tanah, permukiman serta properti yang terancam berbagai proyek pembangunan, daripada oleh birokrasi yang berbelit dan pungli.

Singkatnya, yang lebih menghambat investasi adalah adanya pemenuhan keadilan sosial dan ekonomi serta perlindungan terhadap HAM sebagai fondasi liberalisme dalam politik. Dengan kata lain, liberalisme politik pada konteks ini justru menjadi hambatan bagi pembangunan ekonomi. Maka, pertanyaan yang penting diajukan bukan soal bagaimana ekonomi dapat tumbuh seiring dengan membaiknya perlindungan terhadap HAM. Sebab, pada kenyataannya, banyak negara-negara non-demokratis seperti Cina, Singapura dan Vietnam atau yang kualitas rule of law-nya buruk memiliki performa ekonomi yang lebih baik ketimbang negara-negara demokratis di Eropa. 

Peta indeks rule of law V-Dem untuk beberapa negara di dunia. (Sumber: V-Dem)

Dalam sepuluh tahun terakhir, berdasarkan data lembaga pemantau demokrasi V-Dem negara-negara dengan skor indeks rule of law di bawah 0,7 seperti Rwanda, India, China, Bangladesh, Vietnam dan Myanmar memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 5 persen. Sedangkan negara yang masuk dalam kategori berpenghasilan tinggi dengan skor indeks rule of law yang juga tinggi (di atas 0.98) memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi di bawah 5 persen, sebagian besar sekitar 2 persen.

Brian Tamanaha (2011, 245), seorang profesor hukum dari Washington University School of Law yang banyak mengkaji proyek hukum dan pembangunan lembaga donor menyebut bahwa ‘pertumbuhan ekonomi yang eksplosif dapat terjadi pada konteks absennya rule of law’. Sementara itu, para praktisi Bank Dunia Caroline Sage dan Michael Woolcock (2012, 2) menyatakan bahwa sistem hukum di banyak negara sasaran bantuan pembangunan tetap lemah dan disfungsional meskipun telah banyak dana bantuan yang dikucurkan selama beberapa dasawarsa. Dan, hal ini juga terjadi di negara-negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang mengesankan.

Karena itu, pertanyaan yang lebih penting untuk dianalisis adalah mengapa pembangunan ekonomi bisa berjalan tanpa kebebasan politik?

Pertanyaan ini membawa kita untuk menganalisis amatan sosiologis, ketimbang mengajukan pandangan normatif-moralis perihal kompatibilitas liberalisme politik dengan ekonomi. Faktanya, di beberapa tempat liberalisme ekonomi dapat berjalan beriringan dengan iliberalisme politik. Lebih jauh dapat dikemukakan bahwa liberalisme, baik dalam arena politik maupun ekonomi, dapat ditegakkan sejauh memberi perlindungan terhadap hak atas properti serta upaya akumulasi kekayaan privat. 

Persentase kenaikan GDP Vietnam, Cina dan India, tiga negara dengan skor indeks rule of law rendah. (Sumber: World Bank)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sementara adanya korupsi yang endemik, terlebih tidak adanya penegakan hukum dan HAM tidak selalu menjadi kendala bagi pembangunan ekonomi suatu negara. Disertasi saya (2019) berjudul State of Disorder: Non-State Violence in Post-Authoritarian indonesia di University of Melbourne telah berupaya membuktikan proposisi tersebut, setidaknya dari aspek penggunaan kelompok-kelompok kekerasan serta reproduksi ketidakpastian hukum khususnya di bidang pertanahan sebagai medium penting dalam memaksimalkan upaya konsentrasi kapital dan kekuasaan. Ini tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga di banyak negara pasca-kolonial.

Maka tidak mengherankan, pelemahan lembaga antikorupsi di Indonesia dilakukan bersamaan dengan upaya penciptaan lingkungan yang kondusif bagi investasi. Beberapa pejabat di level kementerian era Jokowi bahkan menilai pemberantasan korupsi sebagai penghambat investasi. Padahal lembaga anti-rasuah ini merupakan simbol penting reformasi hukum di Indonesia.

Berbagai lembaga donor sejak tahun 1970-an sebenarnya telah mengakui kegagalan proyek reformasi hukum sebagai bagian dari upaya pembangunan sistem hukum dan politik yang liberal di ‘negara-negara berkembang’. Kegagalan itu berkaitan dengan proses transplantasi institusi liberal yang mengabaikan konteks sosial-politik yang berbeda di negara target dan karena itu dinilai bersifat etnosentris dan orientalis. Implisit di dalam kritik itu bahwa liberalisme hukum dan politik tidak selalu menjadi prasyarat bagi pembangunan ekonomi.

Namun, lembaga-lembaga donor tetap melanjutkan proyek serupa dengan membawa logika yang sama yang berpijak pada asumsi Weberian bahwa liberalisme hukum dan politik adalah kondisi yang memungkinkan (elective affinity) bagi perkembangan kapitalisme. Ada dua pendekatan setidaknya yang digunakan dalam proyek bantuan rule of law ini, termasuk yang diterapkan di Indonesia. 

Pertama adalah pendekatan institusionalis yang menekankan penguatan kapasitas kelembagaan dan agen-agennya sebagai aspek pokok yang dapat menentukan tegaknya supremasi hukum dan HAM. Ini terlihat misalnya dari program-program pendidikan dan pelatihan HAM yang ditujukan pada aparat penegak hukum, praktisi dan aktivis yang banyak dibiayai oleh lembaga donor. 

Perspektif kedua menekankan perbedaan kultural yang mengadvokasi pengakuan terhadap pluralitas sistem legal sebagai aspek penting dalam implementasi program reformasi hukum. Dari sini lahir konsep legal pluralism yang menegaskan bahwa sistem hukum formal-rasional tidak selalu bisa dipaksakan menggantikan tatanan legal tradisional yang bahkan mungkin bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM. Ini dapat diamati dari program-program bantuan yang memperkuat mekanisme hukum non-litigasi dalam penyelesaian sengketa atau program rekognisi terhadap hukum adat.

Kelemahan mendasar perspektif institusionalis dalam menjelaskan kegagalan proyek liberalisme hukum adalah ia menimpakan kesalahan pada lemahnya kapasitas lembaga dan agen-agennya seakan keduanya steril dari hubungan-hubungan kekuasaan yang menentukan bekerjanya institusi-institusi hukum dan politik. Sedangkan kelemahan pendekatan legal pluralism terletak pada kecenderungannya yang meletakkan sumber persoalan pada ketidakmampuan masyarakat dalam mengadaptasi sistem hukum yang rasional. Argumen semacam ini juga kembali mereproduksi pandangan etnosentrisme. 

Analisis yang mengemuka pada akhirnya tampak memisahkan hubungan pembangunan hukum dengan pembangunan ekonomi. Padahal, keduanya sebenarnya berpijak pada pandangan normatif Weberian mengenai hubungan liberalisme politik dan hukum dengan liberalisme ekonomi. Di samping itu, penjelasan kedua perspektif di atas mengisolasi aspek politik dan hubungan-hubungan kekuasaan yang membuat absennya liberalisme politik dan hukum. Akibatnya, keduanya mengabaikan kenyataan dalam banyak kasus bahwa secara relatif iliberalisme tidak selalu mengganggu performa ekonomi suatu negara. 

Tulisan Khan dan Jomo (2000) mengenai kapitalisme kroni—sistem ekonomi yang berbasis pada hubungan kronisme antara pengusaha dan pejabat—telah menunjukkan bukti-bukti empiris di beberapa negara Asia bahwa perilaku pencari rente (rent-seeking behaviour), korupsi dan hubungan patron-klien yang endemik tidak selalu menjadi penghambat pembangunan. Namun demikian, keduanya belum memberikan penjelasan secara memadai mengapa perkembangan kapitalisme di suatu negara dapat ditopang oleh perilaku rente. 

Pemahaman atas sejarah perkembangan kapitalisme di suatu negara sebenarnya bisa memberi petunjuk dalam menjawab pertanyaan di atas. Perkembangan kapitalisme di Indonesia, seperti juga di banyak negara pasca-kolonial, memiliki watak yang berbeda dengan yang dapat diamati di negara-negara Eropa. Perbedaan watak kapitalisme ini turut menentukan perbedaan institusi-institusi sosial dan politik yang terbentuk di suatu negara. 

Dalam sejarahnya, kapitalisme di Indonesia tidak tumbuh dari dorongan kekuatan yang bersifat internal, melainkan lahir dan diintroduksi dari luar melalui kolonialisme. Ciri yang paling menonjol adalah kapitalisme berevolusi dalam situasi ketiadaan borjuasi yang kuat, namun sekaligus memberi ruang yang besar bagi negara sebagai substitusi kelas kapitalis. Hubungan semacam ini menjadi landasan pentingnya akses dan kontrol terhadap otoritas publik sebagai medium signifikan dalam akumulasi kapital dan kekuasaan. Tumbuhnya kelas kapitalis di Indonesia tahun 1980-an juga ditopang oleh hubungan semacam itu. 

Situasi ini yang menjelaskan bagaimana korupsi menjadi endemik serta bagaimana upaya penegakan supremasi hukum dan HAM serta pembentukan lingkungan politik yang liberal menghadapi banyak tantangan. Pembentukan sistem hukum dan politik yang liberal justru tidak menjadi prasyarat penting dalam akumulasi kekuasaan dan kapital. 

Dalam konteks ini, liberalisme politik serta supremasi hukum dan HAM adalah hambatan dalam proses akumulasi kapital, sedangkan iliberalisme telah menjadi sarana yang memfasilitasi. Dengan kata lain, upaya penegakan supremasi hukum dan HAM serta pembentukan lingkungan politik yang liberal mustahil dapat dilakukan tanpa memperhatikan hubungan-hubungan kekuasaan yang memungkinkan iliberalisme politik menjadi watak demokrasi dan kapitalisme di Indonesia. 

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Politikus Demokrat Timo Pangerang Diduga Rangkap Jabatan, Ada Indikasi Benturan Kepentingan di LPS

9 hari lalu

Andi Timo Pangerang. Foto: Facebook
Politikus Demokrat Timo Pangerang Diduga Rangkap Jabatan, Ada Indikasi Benturan Kepentingan di LPS

Politikus Partai Demokrat A.P.A Timo Pangerang diduga rangkap jabatan sebagai kader partai dan anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)


Dua Begal Terekam CCTV Saat Beraksi di Grogol Petamburan, Ditangkap di Kuningan dan Bogor

15 hari lalu

Ilustrasi begal / penyerangan dengan senjata tajam / klitih / perampokan. Shutterstock
Dua Begal Terekam CCTV Saat Beraksi di Grogol Petamburan, Ditangkap di Kuningan dan Bogor

Unit Reskrim Polsek Grogol Petamburan Jakarta Barat mengungkap motif di balik aksi begal ponsel di warteg wilayah Jelambar Baru, Grogol Petamburan, Jakarta Barat.


Pantang Menyerah Lawan Kanker Ginjal, Vidi Aldiano: Segala Ikhtiar Dilakukan

18 hari lalu

Vidi Aldiano mengunggah foto dirinya saat bertolak ke Koh Samui, Thailand untuk menjalani terapi melawan kanker ginjal. Foto: Instagram.
Pantang Menyerah Lawan Kanker Ginjal, Vidi Aldiano: Segala Ikhtiar Dilakukan

Vidi Aldiano mengaku mengalami serangan kecemasan saat transit di Bandara Changi, Singapura sebelum melanjutkan perjalanan ke Thailand untuk terapi.


PLN Gandeng 28 Mitra Kembangkan Infrastruktur Catu Daya Kendaraan Listrik

21 hari lalu

Direktur Retail dan Niaga PLN Edi Srimulyanti saat menyampaikan sambutannya pada acara penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan 28 mitra badan usaha terkait pengembangan dan penyediaan charging di PLN Unit Induk Distribusi Jakarta Raya (UID Jaya) pada Rabu, 3 Juli 2024.
PLN Gandeng 28 Mitra Kembangkan Infrastruktur Catu Daya Kendaraan Listrik

PT PLN (Persero) melakukan langkah besar dalam memperkuat ekosistem kendaraan listrik di Indonesia dengan menandatangani 30 set Memorandum of Understanding (MoU) dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan 28 mitra badan usaha terkait pengembangan dan penyediaan charging.


Deretan Film yang Diadaptasi dari Video Game

26 hari lalu

Film Detective Pikachu merupakan film Pokemon live-action pertama dan dikemas lebih modern.
Deretan Film yang Diadaptasi dari Video Game

Adaptasi film yang diambil dari video game menawarkan pengalaman menarik dan menghibur bagi penonton segala usia.


Disdag Palembang Gelar Pasar Murah, Antisipasi Lonjakan Harga Menjelang Idul Adha

43 hari lalu

Antisipasi Lonjakan Harga menjelang Idul Adha, Dinas Perdagangan Kota Palembang Adakan Pasar Murah. TEMPO/ Yuni Rohmawati
Disdag Palembang Gelar Pasar Murah, Antisipasi Lonjakan Harga Menjelang Idul Adha

Pemerintah Kota Palembang melalui Dinas Perdagangan (Disdag) menggelar pasar murah menjelang hari Raya Idul Adha 2024


Asosiasi Tagih Janji Pemerintah Soal Penguatan Industri Game Nasional, Isu Pendanaan Paling Krusial

57 hari lalu

Salah satu industri game dunia Sony and XBOX ONE, mengikuti pameran ini. Industri game di Inggris menyumbang GDP terbesar bagi Inggris, dengan total nilai transaksi mencapai  1.72 milyar poundsterling. Birmingham, Inggris, 24 September 2015.  M Bowles / Getty Images
Asosiasi Tagih Janji Pemerintah Soal Penguatan Industri Game Nasional, Isu Pendanaan Paling Krusial

Asosiasi game nasional mendesak realisasi Perpres Nomor 19 tahun 2024 soal pengembangan industri game nasional sebelum rezim berganti.


Mengenal Tangkahan, Kawasan Ekowisata dan Konservasi Gajah di Taman Nasional Gunung Leuser Sumut

58 hari lalu

Gajah-gajah saat menyiram wisatawan saat berkunjung ke Tangkahan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Gajah-gajah tersebut digunakan bagi wisatawan untuk trekking keliling kawan ini. Tempo/Soetana Monang Hasibuan
Mengenal Tangkahan, Kawasan Ekowisata dan Konservasi Gajah di Taman Nasional Gunung Leuser Sumut

Tangkahan dijuluki sebagai The Hidden Paradise of North Sumatra, karena letaknya yang tersembunyi dengan keindahan alam yang masih alami,


Mengenal Tapera yang Akan Memotong Gaji Pegawai Sebesar 3 Persen

58 hari lalu

Pekerja tengah menyelesaikan proyek pembangunan rumah subsidi di kawasan Sukawangi, Bekasi, Jawa Barat, Senin, 6 Februari 2023. PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. targetkan 182.250 unit KPR FLPP dan Tapera, seiring dengan rasio jumlah kebutuhan rumah (backlog) masih tinggi mencapai 12,75 unit. Tempo/Tony Hartawan
Mengenal Tapera yang Akan Memotong Gaji Pegawai Sebesar 3 Persen

Tapera adalah penyimpanan dana yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu


Dieng Caldera Race Digelar 8-9 Juni 2024, Peserta Diajak Lari Menikmati Keindahan dan Dinginnya Dieng

59 hari lalu

Telaga Merdada terlihat dari atas ketinggian 2.500 meter, di Dieng, Banjarnegara, (4/10). Penghujung musim kemarau di Dataran Tinggi Dieng menyuguhkan pemandangan yang eksotis. Aris Andrianto/Tempo
Dieng Caldera Race Digelar 8-9 Juni 2024, Peserta Diajak Lari Menikmati Keindahan dan Dinginnya Dieng

Pada Juni hingga Agustus, suhu udara di ketinggian Dieng mencapai nol derajat Celcius, bahkan minus.