MENGUATNYA indikasi tindak pidana di balik krisis keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) semakin menunjukkan betapa buruknya pengawasan di sektor jasa keuangan. Kejaksaan Agung harus mengusut tuntas kasus ini. Tak kalah penting dari itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus segera membenahi kegagalannya dalam mencegah komplikasi di tubuh Jiwasraya, agar skandal yang diduga merugikan negara hingga Rp 13,7 triliun ini tak terulang.
Kejaksaan Agung pada Selasa, 17 Desember lalu, resmi mengambil alih penyidikan yang selama tujuh bulan terakhir dilakoni Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Kejaksaan mengendus dugaan terjadinya fraud-tindakan curang yang menguntungkan pribadi dan pihak lain-dalam pengelolaan dana JS Saving Plan, produk investasi berbalut asuransi kecelakaan yang dipasarkan Jiwasraya sejak 2013.
Selain manfaat proteksi, JS Saving Plan menjanjikan imbal hasil pada kisaran 9-13 persen dari penempatan dana di beragam instrumen investasi. Jauh lebih tinggi dibanding rata-rata yield obligasi pemerintah yang hanya 7-9 persen. Walhasil, produk ini laris manis. Kontribusinya terus meningkat hingga mendominasi 75 persen dari total pendapatan premi Jiwasraya pada akhir 2017.
Ternyata pertumbuhan premi tersebut tak lebih dari gali lubang-tutup lubang. Investasi senilai Rp 42 triliun, yang separuh lebih digunakan membeli saham dan reksa dana, tak pernah bisa menutup imbal hasil yang dijanjikan. Pada Oktober 2018, perusahaan asuransi pelat merah tersebut gagal membayar klaim jatuh tempo senilai Rp 802 miliar. Klaim senilai Rp 12,4 triliun yang jatuh tempo pada periode Oktober-Desember 2019 dipastikan bernasib sama.
Potensi masalah pada pengelolaan investasi Jiwasraya sebenarnya telah terungkap dalam hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pada 2016. Kala itu BPK mengendus potensi benturan kepentingan karena penempatan dana turut melibatkan perusahaan manajemen investasi yang didirikan oleh Hary Prasetyo, Direktur Keuangan Jiwasraya periode 2008-2018. Kejaksaan kini mencurigai praktik lancung melibatkan manajemen lama.
Indikasinya menguat lantaran 95 persen dari total dana pada investasi saham digelontorkan ke junk stock-emiten berkinerja buruk. Sebanyak 98 persen investasi di reksa dana dikelola manajer investasi berkinerja rendah. Selain itu, penempatan investasi hingga 52 persen ke instrumen saham dan reksa dana menyalahi batas moderat pada ketentuan manajemen risiko sebesar 20 persen.
Keterangan jajaran direksi baru Jiwasraya di depan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, Senin pekan lalu, lebih mencemaskan. Pengelolaan investasi Jiwasraya selama ini tak pernah dilengkapi analisis awal hingga audit internal. Pembelian saham dan reksa dana lewat manajer investasi terindikasi overvalued. Celakanya, semua ini muncul ketika Jiwasraya berada dalam pengawasan penuh OJK sejak 2012.
OJK tak perlu berdalih telah mengingatkan manajemen Jiwasraya agar mengevaluasi JS Saving Plan. Faktanya, upaya tersebut-dipaparkan setelah Kejaksaan Agung mengumumkan penyidikan-justru menunjukkan taring pengawasan tak cukup tajam. Dengan kewenangan penyidikan yang dimilikinya, sebenarnya kita pantas bertanya: mengapa OJK tak lebih awal membongkar dugaan pidana kasus ini?
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 26 Desember 2019