Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Messiah

image-profil

Oleh

image-gnews
Iklan

Hari yang ajaib itu 19 Mei 1824, atau 21 Ramadan 1751. Dalam otobiografinya Pangeran Diponegoro menulis bahwa di hari itu ia diminta datang ke Gunung Rasamuni oleh seseorang yang tak berumah tak beralamat. Ia perlu menghadap Ratu Adil. Orang itu siap menemaninya pergi.

Diponegoro pun berangkat. Sesampai di kaki gunung, pengantarnya tiba-tiba menghilang. Tapi di puncak Rasamuni ia lihat wajah yang bercahaya. Konon cahaya itu beradu terang dengan sinar matahari. Matahari meredup.

Dan Diponegoro tak mampu

Mengenali atau melihat

Raut wajah Ratu Adil

Baca Juga:

yang bercahaya

mengalahkan matahari

Kisah ini mungkin tak benar-benar terjadi. Tapi siapa tahu. Saya lebih baik melihat sisi lain: di baliknya ada yang membayang, yakni sebuah krisis.

Berkali-kali riwayat manusia mengisahkan, dalam sebuah masa krisis yang meluas, ketika ketidakadilan dirasakan akut oleh seantero masyarakat, ketika tak tampak jalan keluar, selalu terbentuk percakapan tentang Keadilan (dengan "K"). Tapi selamanya tak pernah jelas.

Dengan kata lain, ketidakadilan adalah cerita yang amat panjang-dan di tengahnya Keadilan diseru, dicoba ditegakkan, acap dengan dendam, atau kalau tidak, dengan hasrat yang intens, bergejolak, dan kacau.

Dari sana datang imajinasi tentang Ratu Adil. Dalam tradisi Yahudi "Mashiach", dari mana dikenal kata "Messiah"; dalam kepercayaan Buddhisme "Maitreya"; dalam Taoisme "Li Hong".

Diponegoro, yang tak dapat mencerap wajah Ratu Adil yang bercahaya terlalu terang, akhirnya memainkan sendiri peran "Messiah" itu. Penulis sejarahnya, Peter Carey, mengatakan bahwa aristokrat yang memimpin pemberontakan hingga meletus Perang Jawa itu "terpanggil menjadi ratu adil ketika menyaksikan Jawa yang semakin kehilangan harga diri" di bawah kekuasaan VOC. "Diponegoro tidak ditakdirkan menjadi ratu adil," kata Carey dalam satu ceramah, "melainkan zaman yang memaksanya."

Riwayat Diponegoro, seperti semua cerita Ratu Adil, heroik dan sekaligus tragik. Ia produk dari gagasan yang tak selesai tapi tak bisa menunggu. "Keadilan, betapapun tak mungkinnya direpresentasikan, tak dapat menunggu," tulis Derrida dalam Force de Loi (1994). "Keadilan adalah yang mesti tak menunggu."

Yang jadi pertanyaan: apa yang terjadi jika Keadilan dirasakan tak bisa menunggu? Apa yang dilakukan jika sebuah masyarakat tak menunggu? Dari pemberontakan Diponegoro di abad ke-19 sampai dengan perlawanan terhadap kediktatoran di abad-abad berikutnya, kita menyaksikan serangkaian paradoks.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lahirnya hasrat akan Ratu Adil menunjukkan itu. Di masyarakat yang amat tertekan "tak menunggu" berarti revolusi atau pemberontakan besar. Perjuangan perubahan itu selalu mengandung semacam messianisme-janji yang diberi nama "Kemerdekaan", "Kebenaran", "Keadilan"-yang dibayangkan akan melintasi waktu dan tempat. Tapi dalam aksi massa yang dipicu keadaan mendesak, selalu ada yang tak jelas. Cahaya sang Ratu Adil terlampau menyilaukan hingga rautnya tak bisa dilihat. Sang penunjuk jalan sudah menghilang di kaki gunung. Tak ada arah yang mudah. Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ditulis dengan urgen hingga tak menguraikan apa yang dimaksudkannya dengan "d.l.l.". "Dan lain-lain" dalam teks itu tak spesifik. Tak ada program yang tersusun tentang yang akan dilakukan bangsa Indonesia setelah "pemindahan kekuasaan" ke tangan republik yang baru.

Derrida benar ketika ia berbicara tentang "ketergesa-gesaan" dalam menafsirkan janji messianik, terutama dalam revolusi. Keadilan diperlukan langsung, di lapangan, katanya, "seperti kegilaan yang merobek waktu dan tak peduli dialektika". Tak ada jaminan, tak ada peraturan, tak ada institusi. Keadilan memanggil, dan panggilannya selalu melahirkan tindakan yang di luar ukuran, bak arus yang melimpah deras, débordement.

Sebab itu, dalam tiap perubahan sosial dan politik ada yang belum diringkas, belum ditata benar tentang bagaimana Keadilan diwujudkan. Tak dengan sendirinya itu melumpuhkan. Justru karena itu Keadilan, kata Derrida, selalu mengacu ke keadaan yang belum tercapai namun senantiasa melambai untuk dicapai-di kemudian hari. Keadilan selalu di masa depan, avenir, selalu akan datang, a venir. Ia tak pernah tampak berwujud pasti. "Kita harus mengatakan ‘mungkin’ tentang keadilan," kata Derrida.

Juga tentang masa depan. Termaktub dalam kehadiran sang Ratu Adil adalah janji, dan janji selalu mengarah ke "kelak". Umumnya kita mencoba menaklukkan kelak. Kita membuat sebuah garis batas di cakrawala dan mengganti "harapan" dengan prediksi.

Dengan demikian kita sebenarnya meletakkan masa depan sebagai penopang masa kini. Janji messianik pun tak lagi dianggap hanya janji. Ia-dan masa depan-diringkas sedemikian rupa hingga seakan-akan sudah terpenuhi dalam desain kita.

Tapi mustahil.

Derrida membedakan "masa depan" dengan l’avenir atau "kelak" yang sama sekali tak bisa kita duga, yang sama sekali tak bisa jadi proyeksi diri kita kini. Pembedaan ini perlu tapi berlebihan. Bagi saya, masa-yang-akan-datang, "kelak", tak bisa kita kuasai karena ia tak pernah jernih; ia selalu mengandung hasrat masa kini, sebagaimana masa kini mengandung ingatan tentang masa lalu.

Itu sebabnya sejarah ketidakadilan bisa kita lihat sebagai cerita lama yang seakan-akan berlanjut dalam variasi yang besar. Itu sebabnya kita tiap kali seperti mengenali kembali sengsara Ayub: manusia yang disiksa Tuhan meskipun tak berdosa. Itu sebabnya kini kita mengikuti dengan asyik Game of Thrones (kisah tidak pastinya Keadilan di masa lalu yang fiktif) dan Justice League (kisah para pahlawan Keadilan di masa depan yang dibayangkan canggih tapi mencemaskan).

Dan kita dengarkan percakapan dua tokoh Justice League:

Diana Prince: Orang bilang tak akan pernah datang lagi zaman para pahlawan.

Bruce Wayne: Harus tetap datang.

Fantasi atau bukan, Messiah di masa lalu dan superhero Hollywood di masa kini mungkin bagian kehendak kita bertahan, dengan harap-harap cemas, karena ketidakadilan.

GOENAWAN MOHAMAD

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

15 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


17 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

24 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

27 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

43 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

44 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.