MAHKAMAH Agung dan Komisi Yudisial (KY) semestinya lebih serius menindaklanjuti aduan masyarakat menyangkut dugaan pelanggaran kode etik oleh para hakim. Dalam lima tahun terakhir, setiap tahun lebih dari seribu hakim diadukan ke KY. Tapi hanya sedikit yang diproses dan lebih sedikit lagi yang ditindak. Tahun ini, sepanjang semester pertama saja jumlah aduan masyarakat mencapai 1.183 laporan.
Sebagai penegak hukum, hakim seyogianya bekerja dengan standar etik yang lebih tinggi dari pejabat publik lainnya. Kenyataannya, banyak yang tanpa malu melakukan perbuatan tercela: menerima suap, bertemu dengan pihak beperkara, hingga atur-mengatur perkara.
Celakanya, Mahkamah Agung (MA), yang memiliki wewenang dan tanggung jawab menata perilaku hakim, malah terkesan "melindungi" para pelaku. Rekomendasi Komisi Yudisial terhadap para hakim nakal yang melanggar kode etik sering diabaikan. MA juga sering kali tidak mempedulikan aturan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 mengenai Komisi Yudisial yang menyatakan bahwa rekomendasi KY-baik berupa sanksi ringan maupun pemberhentian tetap-berlaku otomatis bila dalam waktu 60 hari tidak dijalankan MA.
Salah satu contohnya adalah Hakim Agung Syamsul Rakan Chaniago, yang memvonis bebas terdakwa kasus penerbitan surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Syafruddin Arsyad Temenggung. Dia dilaporkan ke KY melakukan pelanggaran etik. Belum sempat ia diproses, MA telah menjatuhkan sanksi ringan kepadanya, yakni tidak boleh bersidang selama enam bulan. Padahal dia terbukti melanggar etik karena bertemu dengan pengacara Syafruddin bernama Ahmad Yani.
Tanpa sikap tegas MA terhadap para hakim nakal, kewibawaan wajah peradilan kita akan terus merosot menuju titik terendah. Termasuk yang perlu diawasi ketat adalah para hakim agung di MA sendiri, yang sering mengobral diskon hukuman bagi terpidana korupsi. Banyak koruptor yang terbukti bersalah di pengadilan tingkat pertama dan kedua kemudian mendapat korting hukuman di tingkat kasasi atau peninjauan kembali.
Indonesia Corruption Watch mencatat, sepanjang 2007-2018 Mahkamah Agung telah membebaskan 101 narapidana korupsi. Alih-alih menjadi benteng terakhir penegakan hukum, lembaga yudikatif ini malah menjadi titik lemah pemberantasan korupsi. Inkonsistensi dalam memutus perkara ini jelas menjatuhkan marwah sistem peradilan kita. Jika dibiarkan, tren vonis ringan akan menjalar hingga ke pengadilan tinggi dan pengadilan negeri.
Padahal Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengamanatkan agar hakim membuat putusan dengan mempertimbangkan nilai-nilai di masyarakat-tidak hanya terpaku pada aturan yang ada dalam kitab undang-undang. Salah satu nilai yang berkembang di masyarakat saat ini adalah kesepahaman bahwa sudah selayaknya pelaku tindak pidana korupsi dihukum seberat-beratnya. Rentetan pengurangan hukuman itu jelas mengkhianati rasa keadilan masyarakat.
Hakim yang baik merupakan elemen penting bagi baik-buruknya sistem peradilan. Karena itu, MA dan KY harus bersungguh-sunguh menegakkan kode etik dan memperbaiki perilaku hakim. Jika tidak, wajah peradilan kita akan tetap sepekat jelaga.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 20 Desember 2019