Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Perkara Ekspor Benih Lobster

image-profil

image-gnews
Benih lobster yang akan diselundupkan di Jambi, 17 April 2019. Polisi berhasil mengagalkan upaya penyelundupan benis lobster senilai Rp 37 miliar. (Humas KKP)
Benih lobster yang akan diselundupkan di Jambi, 17 April 2019. Polisi berhasil mengagalkan upaya penyelundupan benis lobster senilai Rp 37 miliar. (Humas KKP)
Iklan

Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia

Kerja sama antara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI belum lama ini berhasil mengungkap penyelundupan benih lobster ke luar negeri, yang angkanya mencapai Rp 900 miliar per tahun. Bahkan angka riilnya bisa saja jauh lebih daripada itu. Dana tersebut digunakan untuk mendanai pembelian benih lobster di dalam negeri oleh pengepul dari tangan nelayan lokal. Menurut PPATK, penyelundupan benih lobster ke luar negeri melibatkan sindikat internasional. Dananya bersumber dari bandar di luar negeri yang kemudian dialirkan ke berbagai pengepul di Indonesia. Dana tersebut dialirkan via usaha valuta asing atau jasa penukaran uang.

Dalam perspektif pajak, penyelundupan benih lobster ke luar negeri tentu saja akan merugikan keuangan negara karena akan mengurangi penerimaan negara. Pertimbangan tersebut agaknya dijadikan justifikasi utama oleh Menteri Kelautan Edhy Prabowo untuk mempertimbangkan revisi atau mungkin pencabutan aturan lama tentang pelarangan ekspor benih lobster. Aturan tersebut ditetapkan pada 23 Desember 2016 dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/Permen-KP/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia yang diteken Menteri Kelautan saat itu, Susi Pudjiastuti.

Bahkan, ketika itu, dikabarkan aturan tersebut dicap sebagai "permen pahit" oleh ribuan nelayan di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, karena Susi dianggap hanya bisa melarang tapi tak memberikan solusi untuk mengantisipasi terhentinya aktivitas ekonomi nelayan benih lobster. Alasan yang dikedepankan kala itu lebih dominan pada sisi lingkungan (keberlanjutan benih lobster), sehingga sisi ekonominya tampak terpinggirkan. Walhasil, selama Susi menjabat, belum terlihat ada kebijakan Kementerian Kelautan yang menjadi rencana strategis lanjutan dari peraturan itu. Misalnya, peta jalan pembudidayaan lobster untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah komoditas tersebut.

Jika bersandar pada justifikasi peningkatan ketahanan ekonomi dengan perbaikan daya saing dan nilai tambah komoditas lobster, langkah Susi melarang ekspor benih sudah ada di jalur yang benar. Kalaupun ada kelemahan, itu terletak pada absennya upaya strategis Susi dalam melanjutkan kebijakan tersebut ke level yang lebih strategis, yakni menghadirkan kebijakan budi daya lobster dari hulu sampai ke hilir agar menghasilkan komoditas lobster ekspor berdaya saing dan bernilai tambah mumpuni.

Tapi, jika Menteri Edhy mencabut larangan ekspor benih lobster, ia tidak memberikan solusi, tapi sekadar mengembalikan keadaan ke waktu sebelum adanya peraturan tersebut. Padahal, yang menjadi persoalan, di satu sisi kita memiliki anugerah keberlimpahan benih lobster, tapi di sisi lain kita juga belum memiliki teknologi dan sistem budi daya yang baik untuk mengembangkannya.

Jika Edhy membatalkan peraturan tersebut, visinya mengenai komoditas lobster jauh lebih buruk ketimbang Susi. Dalam jangka panjang, pencabutan larangan ekspor benih lobster itu bisa "membunuh" komoditas lobster nasional. Jika suatu saat nanti kebutuhan nasional akan lobster dewasa meningkat tajam tapi kapasitas produksi domestik tak sanggup memenuhinya, mengimpor lobster dewasa akan menjadi keputusan yang merugikan karena disparitas harga yang tajam antara benih lobster dan lobster dewasa. Pada titik inilah kita akan kalah telak alias "terjajah".

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pembanding yang mudah dipahami adalah komoditas tambang. Sekitar dua tahun lalu, di Cina, harga ore bauksit (mentah) kualitas tinggi hanya sekitar US$ 50 per ton. Jika diolah, ia akan menghasilkan 650 kilogram alumina dengan harga sekitar US$ 208 atau 5,2 kali lebih tinggi dibanding bauksit. Apabila alumina diolah kembali, ia akan menghasilkan 325 kilogram aluminium dengan harga sekitar US$ 546 atau lebih tinggi 2,6 kali dari harga alumina atau 13,6 kali dari harga bauksit.

Jika ore bauksit diekspor ke negara yang punya smelter, Cina mendapat US$ 50 per ton plus lapangan kerja untuk penambangan. Tapi negara tujuan ekspor tersebut mendapat US$ 546 per ton plus lapangan kerja pengolahan dengan level keterampilan menengah ke atas. Dengan alasan ini, Mahkamah Konstitusi akhirnya melarang ekspor sumber daya alam mentah, seperti ore bauksit, bijih nikel, dan kondensat, serta mewajibkan penambang membangun smelter.

Bagaimana dengan benih lobster? Benih lobster dijual oleh nelayan hanya sekitar Rp 30-50 ribu per kilogram. Benih tersebut diekspor ke Vietnam dan dibudidayakan di sana. Setelah layak panen, lobster dijual dengan harga sekitar Rp 1,4 juta per kilogram. Bahkan, dari cuitan Susi, harga satu lobster mutiara dewasa seberat 800 gram bisa mencapai Rp 4 juta. Bisa dibayangkan berapa peluang keuntungan yang diambil dari Indonesia oleh negara importir benih lobster hanya karena mereka mampu membudidayakannya.

Saya kira, dalam kacamata ketahanan ekonomi, tugas strategis Menteri Kelautan adalah membangun nilai tambah dan daya saing produk perikanan domestik, termasuk lobster. Itulah yang diharapkan dari menteri yang baru. Jika hanya mencabut aturan atau revisi, itu bukan pekerjaan visioner dan strategis. Sebab, siapa pun menterinya, pasti bisa melakukannya.

Jika menteri yang baru dapat menawarkan peta jalan budi daya lobster agar menjadi komoditas perikanan ekspor berdaya saing, bernilai tambah, berprospek melebarkan lapangan kerja di sektor yang sama, lalu berjuang mewujudkan dengan keberpihakan fiskal yang jelas dan program-program pembudidayaan yang terukur, itu baru bisa disebut sebagai "kebijakan pembeda" dan layak disebut pekerjaan besar.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

2 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

23 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


24 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

31 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

35 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

50 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

51 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.