Yonvitner
Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University
Saya pernah menyampaikan bahwa sekarang saatnya perikanan bermetamorfosis dalam tiga hal. Pertama, konservasi bukan semata perlindungan terhadap ekosistem dan sumber daya perikanan, melainkan juga sebuah gerakan ekonomi hijau (green economy). Gerakan ini merupakan upaya untuk menjadikan kawasan konservasi sebagai sebuah industri baru berbasis skema ekonomi berkelanjutan. Skema industri yang dapat dikembangkan bisa berbentuk wisata terbatas, wisata khusus, atau wisata lingkungan lainnya. Praktik konservasi di Labuan Bajo menjadi salah satu contohnya.
Kedua, mendorong program penanggulangan perikanan tangkap ilegal sebagai bagian yang terintegrasi dengan sistem pertahanan dan keamanan nasional. Dalam konteks penangkapan, setidaknya ada dua dalih yang bisa ditujukan kepada kapal ilegal: masuk tanpa izin ke wilayah Indonesia dan pencuri sumber daya ikan. Pelanggaran atas wilayah menjadi kewenangan TNI Angkatan Laut atau Badan Keamanan Laut, sedangkan pencurian sumber daya merupakan ranah kelautan. Aksi penenggelaman kapal sebagai bentuk kegiatan seremonial sebenarnya tidak diperlukan, kecuali penenggelaman langsung atas kapal yang tertangkap ilegal dan mengambil ikan secara ilegal juga. Namun kondisi ini memungkinkan jika ada produk hukum yang dapat mengesahkannya serta akan lebih kuat dan memberikan efek jera kepada nelayan ilegal yang ada di perairan kita.
Ketiga, memacu proses industrialisasi perikanan dari hulu dan hilir, baik perikanan tangkap dan budi daya, maupun pengolahan dan konservasi. Beberapa kebijakan, seperti pelarangan penangkapan benih lobster, setidaknya menghentikan usaha pembesaran nelayan. Berdasarkan pengalaman saya di Teluk Bumbang, nelayan penangkap benih lobster menjadi kehilangan pekerjaan dan menganggur. Akibatnya, nelayan budi daya pembesaran di perairan Teluk Ekas juga terhenti karena terhentinya pasokan benih. Kondisi ini menunjukkan bahwa perikanan lobster merupakan suatu jaringan industri yang memberikan banyak manfaat kepada nelayan. Untuk itu, perlu dibangun sistem industrialisasi yang memberikan ruang kepada nelayan penangkap benih, nelayan penampung, serta pembesar dan penjual lobster dewasa untuk mengambil manfaat dalam rantai usaha dan tidak dimonopoli oleh satu pihak.
Dengan intervensi ilmu pengetahuan, kita sebenarnya dapat mengembangkan industri perbenihan, perbesaran, dan perdagangan secara bersamaan. Terbangunnya industri ini akan menghadirkan lapangan kerja bagi masyarakat dan sarjana perikanan. Kegagalan merancang skema industri perikanan dalam melahirkan lapangan kerja baru menjadi autokritik sektor perikanan sehingga perlu melakukan omnibus law.
Omnibus law menjadi momentum untuk membangun perikanan kelautan sebagai sebuah industri masa depan. Agar euforia pembangunan perikanan ke depan tidak terjebak pada proses eksploitasi berlebih dan proteksi buta tanpa efek ekonomi, omnibus law harus dimulai dari rekonstruksi ruang, sumber daya manusia, dan teknis operasional. Tahap yang harus ditempuh adalah rekonstruksi aktivitas produksi, seperti perizinan,sistem usaha, sistem industri pengolahan, dan sistem pemasaran.
Rekonstruksi ruang bertujuan memastikan konflik tidak terjadi dalam alokasi dan pemanfaatan ruang. Saat ini kita dihadapkan pada kondisi yang penuh ketidakpastian ruang laut. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 mengamanatkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Undang-Undang Kelautan mengamanatkan ruang dalam bentuk zonasi kawasan laut yang terdiri atas kawasan strategis nasional, kawasan strategis nasional tertentu, dan kawasan antar-wilayah. Undang-Undang Perikanan mengamanatkan ruang yang dikenal sebagai wilayah pengelolaan perikanan. Adapun Undang-Undang Lingkungan Hidup mengamanatkan ekoregion.
Perbedaan istilah ini kemudian melahirkan peta yang berbeda sehingga sering terjadi tumpang-tindih ruang. Lebih parah lagi, kebijakan turunannya menguatkan masing-masing kebijakan sehingga sulit disinkronkan. Saran saya, untuk mencegah terjadinya distorsi lebih jauh, harus disiapkan satu master map laut yang menyatukan semua bentuk perwilayahan tadi.
Omnibus law kedua baru pada sistem produksi dan industri yang bersifat teknis dan operasional. Berdasarkan paparan dari Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan saat workshop perikanan berkelanjutan di Bali, 11-12 Desember lalu, omnibus law yang sudah disiapkan mencakup: 1) percepatan perizinan, 2) mekanisme pengapalan untuk peningkatan kualitas tangkapan dengan pendaratan tetap di dalam negeri, dan 3) budi daya lobster, budi daya koral, kapal angkut, kapal penangkap ikan luar negeri, pemanfaatan zona ekonomi eksklusif, revitalisasi kawasan budi daya, dan tata niaga garam.
Tahap berikutnya adalah merancang mekanisme koordinasi dengan daerah terkait dengan aset dan lahan serta indikator kinerja daerah dan pusat. Omnibus law perikanan sesungguhnya bertujuan mendorong suatu tata kelola perikanan kelautan yang lebih baik, bukan semata euforia transformasi kepemimpinan.